“Belum pernah tersesat. Sejak kecil kami diajarkan membaca letak bintang. Kalau gelap dan badai kami membaca arah gelombang.” Kahar, mantan parengge asal Pulau Kodingareng Lompo, Makassar.

Kahar bin Johasang
Pernah dengar kapal nelayan dibakar di perairan Balikpapan nun lampau? Tentang konflik nelayan tradisional di Balikpapan versus nelayan Pantura? Pernah dengar kapal ikan modern purse-seine diluluhlantakkan di Lappa, Sinjai, Sulawesi Selatan, dibakar di Lombok? Itu pernah ada. Ada konflik antara nelayan modern pengguna jaring pukat cincin atau purse seine dengan nelayan lokal atau mengaku tradisional.
Dari insiden itu, beberapa korban justru datang dari pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar dan nelayan dari Galesong, Takalar. Komunitas nelayan tersebut terkenal sebagai pelaut dan nelayan tangguh. Mereka mempunyai pengalaman mengagumkan sekaligus mencengangkan di lautan. Ada yang beradaptasi dengan teknologi penangkapan ikan modern, ada yang bertahan dengan destructive fishing meskipun main kucing-kucingan dengan petugas pengamanan. Pun ada yang setia sebagai nelayan tradisional, berperahu kecil dan alat pancing seadanya. Dari mereka kita petik pelajaran seperti tren praktik pemanfaatan hasil laut, hubungan ideal antara pemodal dan nelayan, eksploitasi taat kaidah konservasi maupun peluang membangun kerjasama multi pihak di perikanan.
Kahar, warga Pulau Kodingareng mempunyai cerita unik dan tangguh sebagai kembara di lautan demi ‘kebenaran’ yang diyakininya; mencari ikan dengan pukat cincin atau purse seine (rengge). Kepada Kamaruddin Azis dari DFW Indonesia dia menceritakan suka dukanya mengembara dari laut ke laut, dari dermaga ke dermaga sebagai nelayan rengge. Di tanah berbahasa Makassar, nelayan purse-seine disebut Parengge, alat tangkap yang digunakan sejatinya tak dilarang Pemerintah namun dibenci sebagian nelayan lokal di beberapa perairan Nusantara karena daya tangkapnya. Kahar dan nelayan lainnya asal Kodingareng yang percaya bahwa perairan Nusantara adalah milik bersama dan dimanfaatkan dengan baik justru dikejar-kejar di lautnya sendiri.
***
Senja menepi di Kodingareng Lompo. Bersama Gaffar dan Kahar, kami resapi keindahan pulau dan segala yang nampak di hadapan. Laut memantulkan cahaya merah saga. Matahari yang bertengger di atas karang sisi barat sebentar lagi benam. Beberapa tahun terakhir terumbu karang di selatan Pulau Kodingareng Lompo terlihat seperti onggokan raksasa saban surut. Beberapa perahu nelayan, perahu pemancing dan pemasang pukat tertambat tenang. Beberapa orang terlihat membereskan jaring dan memanggulnya kembali ke rumah. Malam tiba dan mereka menyusun rencana untuk keesokan harinya. Seterusnya.
Gaffar adalah warga setempat yang selama ini getol mengkampanyekan pengelolaan pesisir dan laut Kodingareng dengan bijaksana. Sementara Kahar adalah pengelola mesin desalinasi bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di pulau itu sejak 2014. Dari Gaffar terpetakan bahwa masih ada aktivitas illegal fishing di pulau-pulau Makassar, ada bom, ada bius, ada parere.
Setelah makan malam, Kahar melanjutkan ceritanya di Pondok Kerja Pulau Kodingareng. Pondok ini dibangun atas bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan atas kerjasama dengan International Finance for Agricultural Development (IFAD). Dia menceritakan pengalaman hidupnya sebagai parengge, sebelum dia menjadi pengelola mesin desalinasi seperti saat ini (20/04/2016).
Dia adalah putra Johasang Daeng Sarro asal Kampung Beba, Galesong Utara, Takalar. Ibunya bernama Kati Daeng Baji (almarhum). Kahar bersaudara sembilan orang. Karena bapaknya menikah lagi dia kemudian punya enam orang saudara tambahan. Kahar bermukim di Kampung Mandar, RW 2/RT B, Pulau Kodingareng Lompo bersama istirnya Ramlah yang merupakan keturunan Mandar. Di kampungnya, terdapat banyak keturunan Mandar asal Pamboang, Campalagiang dan Soreang.
Rengge di Kodingareng
“Sejak kecil kami diajarkan membaca letak bintang. Kalau gelap dan badai kami membaca arah gelombang.” Kahar membuka kisah melautnya. Menurut Kahar, sudah lama nelayan Kodingareng melaut hingga jauh. Laut adalah ruang-ruang produksi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Mereka percaya bahwa laut adalah dunia tanpa sekat.
Kahar lahir tanggal 13 bulan Agustus 1972 di Kampung Beba. Beba adalah pangkalan pendaratan ikan terbesar di Takalar bahkan di Sulawesi Selatan setelah Lappa dan Paotere. Disebut besar sebab di PPI Beba ratusan kapal ikan bongkar muat di sini. Kawasan ini dikenal telah ada sejak jayanya Sultan Hasanuddin di abad ke-17.

Pulau Kodingareng di sisi selatan
“Beberapa tahun lalu saya adalah parengge, belasan tahun,” kenang Kahar. Kahar mengaku rengge (beberapa orang menyebutnya gae) dilengkapi jaring lingkar yang disokong oleh lampu. Sederhananya, lampu dipasang dan ketika ikan-ikan berkumpul jaring dibentang dan ditarik mengelilingi ikan-ikan yang telah takluk di bawah sinar lampu. Jaring ini disebut juga jaring cincin yang bisa mengarahkan terbentuknya kantung kerucut saat jaring dihela. Jaring ini pertama kali diperkenalkan tahun 1970 di perairan Jawa yaitu di daerah Batang dan Muncar. Konflik rupanya telah ada saat itu, antara nelayan tradisional dan nelayan purse seine ini namun dapat dimediasi dengan baik sampai sekarang terutama di sentra-sentra perikanan di Jawa.
Tahun 80an hingga 90an, lampu petromaks merupakan senjata para parengge dalam mengoperasikan alat tangkap ini di perairan Sulawesi Selatan. Ikan-ikan pelagis seperti tembang, lemuru, cumi-cumi, layang, dan tongkol jadi target parengge ini. Untuk jaring, parengge menggunakan jaring utama berbahan nilon 210 D/9 1 inci, jaring sayap berbahan nilon 210 D/6 I inci, dan jaring kantong ¾ inci. Ada beberapa tali seperti tali pelampung, tali ris atas bawah dan tali pemberat.
Menurut Kahar, terdapat 300an warga Kodingareng Lompo sebagai nelayan rengge. Dari yang tua hingga kawula muda. Jika tak banyak yang terlihat saat ini itu karena mereka telah migrasi ke Perairan Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah.
Rengge telah ada di sekitar perairan Makassar sejak tahun 80an. Kondisi dan kompetisi di sekitar perairan ini selama 30 tahun terakhir memaksa nelayan untuk mencari perairan lain. Jika sebelumnya mereka beroperasi di sekitar Kepulauan Tanakeke di Takalar, Dayang-dayangang, perairan Barru hingga Sulawesi Barat maka saat ini mereka berpencar hingga Teluk Tomini, Laut Flores, Teluk Bone, Kalimantan, Maluku hingga Fak Fak di Papua. Hasil rengge sangat dipengaruhi oleh gelombang, musim, sinar bulan, panjang dan kedalaman jaring serta kecepatan kapal. Sayangnya, hasil besar kadang bersoal dengan nelayan-nelayan lokal yang masih sangat terbatas kemampuan tangkapnya.

Model perahu purse-seine dari Pulau Samatellu Lompo, Pangkep (foto LM. Yassir Haya)
“Tapi kalau nelayan sini tujuannya ke Luwuk Banggai. Ikan banyak, orang Bajo juga sangat baik di sana,” imbuh Kahar. Baginya, warga Bajo di Luwuk Banggai sangat intim dengan nelayan dari Makassar terutama Kodingareng. Kadang nelayan asal Kodingareng meninggalkan perahu rengge dan menitipkannya pada orang Bajo di sekitar pulau-pulau Luwuk Banggai.
“Tidak seperti di tempat lain, di Luwuk Banggai, parengge bisa bebas beroperasi. Menurut saya, di sana ikannya sangat banyak. Banyak sekali,” sebut Kahar yang mengaku pernah beroperasi di perairan Luwuk Banggai. Sembari terkekeh, Kahar melanjutkan. “Bukan hanya itu, sebelumnya kami beroperasi juga di Perairan Flores, Labuan Bajo, Larantuka, Bima, Sumbawa, Lombok, Bali hingga Perairan Sapekan, Banyuwangi atau Madura,” katanya terlihat bangga. Kahar tetap sepayung di perahu rengge yang dipimpin oleh Kadir. Pria yang disebutnya sebagai ayah angkat di Kodingareng Lompo.
“Sekarang mungkin hanya ada tiga unit yang beroperasi di Kodingareng Lompo. Ada 10 unit yang beroperasi di Luwuk Banggai,” kata pria yang menikah pada tanggal 17 Juli 1994 dan juga mengadopsi dua anak angkat ini. Dari pengalaman berkelana dengan perahu rengge itu Kahar tak bisa menyimpan rasa bahagianya saat beroperasi di sisi selatan Kawasan Taka Bonerate, tepatnya di Pulau Pasitallu.
“Setahun beroperasi di Pulau Pasitallu, Taka Bonerate pada tahun 1999. Saya ingatnya Pak Tani, orang setempat,” kata pria yang tidak tamat SD ini. Terasa berbeda bagi Kahar sebab yang dia dengar banyak warga pulau dalam kawasan Taka Bonerate melarang masuknya purse seine, rengge atau gae. Ada kecemburuan sosial di sana. Beberapa nelayan lokal mengaku kehilangan ikan umpan karena ditangkap oleh parengge ini.
Tentang pengalaman melaut ini, Kahar pertama kali mulai melaut saat kelas IV SD. “Saya pergi mancing sama pak Kadir, tahun 1986,” ingatnya. Setelah itu dia pergi pasang lampu dan memancing di sekitar Pulau Badi’. Pengalaman mancing di Pulau Badi’ kemudian berlanjut saat dia kembali ke kampung ayahnya di Beba’, Takalar.
“Bapak saya pernah usaha baju sablon. Bikin sablon baju Ansor. Mungkin karena itu dia pernah dipenjara tahun 80an. Bapak saya Muhammadiyah, ada fotonya bersama Rhoma Irama,” ungkapnya terlihat bangga. “Pertama kali ikut parengge bersama Kadir dan sepupu bapak namanya Haji Jarre. Hampir dua tahun mondar-mandir di Beba’,” kata lelaki yang mengaku ayah kandungnya bergabung dengan Partai PPP saat Orde Baru.
Lantaran Haji Usman, pamannya, yang membeli rengge dari Pulau Bontosua, Pangkep pada tahun 1991, Kahar dan Kadir kembali ke Kodingareng. Usman bersaudara ibu Kahar, Kati Daeng Baji. Usman adalah pedagang.
“Haji Usman beli rengge di Pulau Bontosua, milik Haji Sanu’. Lengkap alat tangkap dan perahu. Harga kalau tidak salah masih puluhan juta,” ungkap Kahar. Tahun-tahun itu harga satu unit purse seine sekitar 20 juta bahkan ada 9 juta. Jaring bekas. “Harga begitu bisa ke tanah suci, dua kali,” katanya tertawa. Saat harga emas masih (Rp.) 9.000 satu gram.
Diburu di Lombok
Pengalaman tak terlupakan menjadi parengge terjadi saat diburu-buru nelayan Lombok di awal tahun 2000an. Kahar berkelana dengan perahu rengge ke Pulau Lombok bersama Kadir, bapak angkatnya. Menghabiskan waktu dua hari dua malam melintasi Selat Makassar, Laut Flores hingga menyusuri pesisir Pulau Lombok.
“Awalnya tidak masalah. Kami beroperasi di Lombok Barat dan menjual ikan tangkapan di Lombok Timur, di sebelah TPI Tanjung Luar, di TPI Lombok Timur. Di sana hingga enam bulan. Biaya operasi ditanggung Haji Usman,” kenangnya. “Yang dibiayai Haji Usman seperti bahan bakar dan beras. Ikannya gampang,” imbuh Kahar. Ini di luar kapal dan mesin dobel. Harus dobel sebab jarak pelayaran jauh membutuhkan daya tahan mesin. Posisi Kahar sebagai orang kedua di perahu itu.
“Tugas saya di bawahnya kapten, pegang jaring,” katanya. Selain pegang jaring, ABK sebanyak 7-10 lainnya bertugas untuk mengontrol pemberat dan bola apung, ada juga yang pasang lampu juga mengayuh sampan.
Apa pengalaman mengesankan selama enam bulan di Lombok itu?
“Enam bulan operasi di Lombok lalu kembali ke Kodingareng. Tahun itu saya senang sekali sebab dapat uang hingga Rp. 600.000, lumayan bisa digunakan untuk perbaiki rumah,” kenangnya.
“Oia, haha, kami pernah kejar-kejaran dengan nelayan di Ampenan. Karena kami kerap berlabuh di Ampenan dan membawa hasil banyak, banyak nelayan jengkel,” katanya tergelak. “Mereka protes sebab nelayan pukat asal Sulawesi merusak mata pencaharian mereka,” kata Kahar.
“Ada yang datang protes alasannya macam-macam. Jadi saat melihat kami sedang operasi mereka ramai-ramai datang. Kami lalu pindah. Hanya sebulan di di Ampenan kemudian pindah ke Gili Gede. Kami urus izin desa dengan melapor ke Kades,” ungkap Kahar. Menurut Kahar saat itu, ada satu perahu parengge yang dibakar massa nelayan namun itu bukan perahu asal Sulawesi, itu perahu warga setempat.
“Mungkin saja orang Bugis Makassar namun telah lama tinggal di Lombok,” katanya.
“Tapi di Gili Gede, nelayan asal Makassar ternyata dikejar juga oleh nelayan setempat karena menggunakan rengge. Kami pernah ditahan di Gili Trawangan, ditahan sama angkatan laut,” tambah Kahar. Tetapi Kahar merasa tidak dipersulit. Menurut Kahar mereka justru berterima kasih karena mendapat satu lampu petromaks dari juragan Kadir.
“Pengalaman di Lombok ini unik juga sebab ada nelayan-nelayan setempat yang memberikan tanda ke kami kalau di perairan tertentu ada banyak ikan. Mereka kasih kode ikan,” terang Kahar.
“Pengalaman karena dipanggil nelayan setempat itu bagus juga. Kami dapat harga penjualan (Rp.) 10 Juta kami tapi berikan juga untuk nelayan setempat hingga (Rp.) satu Juta,” ujarnya. Tapi menurut Kahar, ini hanya berjalan beberapa hari, setelah itu tambah banyak nelayan yang datang dan minta diberi juga. Repot jadinya.
Dari Peraitan Lombok, Kadir dan Kahar hengkang ke Perairan Jawa Timur, sekitar Banyuwangi dan Madura. Pengembaraan Kahar dan Kadir mencari ikan permukaan di Perairan Sapekan ditemani sekitar 16 orang ABK.
“Di sana, banyak kapal ikan lainnya, dari Kalimantan Selatan, jadi pembelinya juga dari Kalimantan Selatan,” kenangnya. Menurut Kahar, di Sapekan ada banyak Bugis, Bajau, dan Mandar. “Bahkan ada teman yang menikah di Sapekan,” katanya. Kahar kemudian pindah ke Panggarugang Kecil, sebuah pulau yang sangat besar, empat kali lipat Kodingareng Lompo namun tanpa penghuni, Terdapat rawa-rawa di dalamnya.
“Di daerah Banyuwangi kemudian ke daerah Sapekan. Masih dengan pak Kadir dan menggunakan kapal Haji Usman,” cerita Kahar. Saat ini kapal Haji Usman sedang ada di Luwuk Banggai dan dioperasikan oleh anaknya yang ada di Banggai
Pengalaman menjejak Luwuk Banggai bermula tahun 2005.
“Saya ke sana bersama Bapak Kadir hingga 2009. Kami mondar mandir Kodingareng dan Luwuk Banggai, kadang naik kapal Pelni, kadang menumpang pada kapal lainnya,” ujar Kahar. Di sana dia tinggal di di Pulau Banggai Laut. Nama desanya Lonas Pantai, Lonas Tanjung. Pulau yang dihuni oleh Suku Bajo.
“Sejauh pengalaman ini, di sinilah paling banyak ikan. Paling banyak ikan di Banggai, di situlah paling banyak,” katanya berulang. Di pengamatan Kahar, ikan-ikan nelayan ini diambil oleh kapal dari Jakarta. Ada kapal penampung jumlahnya banyak hingga ada 10 unit. “Sekarang banyak pembeli lokal,” kata Kahar.
Menurut Kahar, bapak angkatnya, Kadir, meninggal di Banggai tidak lama setelah dia kembali ke Kodingareng Lompo. Bagi Kahar, mengembara di perairan Nusantara selalu penuh tantangan dan harapan. Ada beberapa lokasi operasi rengge yang berkesan bagi Kahar. Di Taman Nasional Taka Bonerate dan di Bayuwangi, Jawa Timur.
“Di Pasitallu hampir setahun beroperasi, heran juga Taman Nasional juga tapi belum dilarang saat itu. Yang membeli ikan kami bayarnya di pak Desa dan kami ambil uang di pak Desa. Pembeli yang bawa es datang dari Sinjai. Sering beroperasi di Gusung Kamase. Ikan lumayan. Ikan layang, simbula,” ungkapnya. “Yang kedua di daerah Banyuwangi, di situ didemo oleh nelayan lokal. Kami kemudian mencari pemimpin setempat, ternyata kepala sukunya orang Galesong, asli orang Galesong. Dia berbahasa Makassar,” katanya terkekeh.
Purse-seine, Diusir atau Diatur?
Komunitas nelayan amat dipengaruhi periode musim. Mereka bisa produktif kala teduh, lesu di musim ganas. Pun bermigrasi hingga bermil-mil demi menjaring hasil perikanan. Maka bermigrasilah nelayan-nelayan Bajo, Bugis, Buton, Makassar, hingga Mandar sejauh mungkin. Bagi mereka, laut adalah ruang ekonomi sekaligus interaksi sosial. Laut milik bersama. Inilah alasan mengapa mereka ditemukan di ruang laut mana saja, di Nusantara bahkan melintasi batas negara. Sebagian bernasib baik, lainnya terbalik.
Penulis teringat kisah Daeng Bella yang ditemui pada suatu sore di Kampung Bayowa di ujung tahun 2015. Bella adalah nelayan Dusun Bayowa, Galesong, Takalar yang dipanggil purina (paman). Bella kapok setelah perahu purse seine yang dituntunnya ke kawasan Taka Bonerate kepergok otoritas pengamanan Taman Nasional lalu diboyong ke Polres Selayar. Puluhan juta uangnya habis, selain karena gagal beroperasi juga harus membiayai hidupnya selama beberapa minggu ditahan di Kota Benteng. Kejadiannya tahun 2015.
Jika membaca pengalaman Kahar yang sempat bertahan selama setahun di Pulau Pasitallu, lokasi Taman Nasional, tanpa usikan dan aman-aman saja, tentu ini pengalaman yang bikin jeles Daeng Bella asal Galesong itu tapi bagi Kahar, apapun itu, pengalaman menjelajah perairan Nusantara itu adalah kemerdekaan yang sejati. Pengalaman berusaha dan menatap masa depan di negeri sendiri. Memang, saat ini semakin banyak kegiatan perikanan yang merusak namun untuk beberapa alasan perlu segera diperjelas yang mana sesungguhnya pantas dan mana yang tidak boleh. Yang banyak terjadi adalah kecemburuan sosial, sesuatu yang sulit diterima di tengah beban sosial dan ekonomi para nelayan kita. Jika sudah demikian, negara harus hadir di sini.
Tentu bukan hanya Kahar dan nelayan dari Kodingareng atau pesisir Galesong yang bersoal dengan rengge ini, masih ingat konflik antara nelayan tradisional di pesisir Balikpapan dengan nelayan purse seine dari Pantura? Masih ingat pembakaran purse seine di TPI Lappa Sinjai oleh nelayan pemancing? Konflik ini membenturkan dua kubu, antara yang bermodal besar dan yang dirugikan karena bermodal kecil. Antara yang modern dan tradisional.
Pengalaman dari Kahar ini memberikan kita petunjuk bahwa ke depan, diperlukan penanganan dan pendekatan yang arif untuk memediasi kepentingan nelayan tradisional dan modern. Negara tak hanya hadir di sana tetapi memberikan perlindungan. Beberapa langkah preventif amat dibutuhkan sebelum kisruh antara nelayan tradisional dan modern meluas, sebelum nelayan pemancing versus nelayan purse-seine panasnya memuncak.
Pertama, buat garis dermarkasi pengaturan antara yang boleh dan tidak boleh melalui aturan, beri justifikasi, sosialisasikan dengan perlahan dan manusiawi, kawal aturan, tegakkan aturan. Pada situasi ini, dibutuhkan kapasitas lebih dari cukup untuk mengetahui dan mengkampanyekan aturan. Negara kuat bermula dari penegakan hukum. Kalau ada pembiaran berarti negara lemah. Simpel.
Kedua, organisasi masyarakat sipil, dunia perguruan tinggi, perusahaan swasta harus bahu membahu melalui kerja-kerja pendampingan dan fasilitasi usaha. Penguatan kapasitas nelayan dan pelembagaan yang bertanggung jawab adalah niscaya. Pilih mana, sebagai kelompok usaha dengan basis pengalaman lampau atau kelompok usaha dengan paradigma dan pengelolaan modern dan reliable? Mari pilih.
Ketiga, kapal-kapal ikan yang kelak akan dibagikan KKP mungkin bisa belajar dari Kahar CS tentang spirit melaut khas Bugis Makassar. Kalau membaca pengalaman Kahar, dia amat cekatan menyusuri lekuk perairan Nusantara. Dia bisa meniti gelombang kompleksitas perikanan meski tantangan sungguhlah besar. Menjadikan Kahar atau nelayan-nelayan yang mampu bertahan tentulah pilihan yang mengasikkan, bukan?
Keempat, negara harus hadir. Lebih dari sekadar hadir tetapi siap sedia 24 jam saat nelayan butuh perlindungan. Tidak ada istilah sarana-prasarana terbatas, uang solar atau bensin belum cair. Betul tidak?
Kelima, masyarakat nelayan harus diingatkan tentang tren perubahan dan tantangan pembangunan ke depan, pertumbuhan penduduk dan konflik kepentingan yang mudah tersulut sentimen lokal. Maksudnya, Kahar perlu diingatkan, begitupun kita, bahwa berhimpunnya nelayan-nelayan parengge Kodingareng Lompo di Luwuk Banggai hingga 300an orang saat ini tak menjamin akan langgeng di sana. Konflik sosial dan ekonomi antara pendatang dan nelayan lokal akan mengintai.
Begitulah, bagi Kahar, menjadi nelayan modern dan tangguh adalah peluang besar untuk mengembangkan kualitas hidup. Bagi yang tak siap, ini akan menjadi ancaman. Pilih mana?
—
Jakarta, 25 April 2016