Sebanyak 7 Orang Awak Kapal Perikanan terlantar di Merauke. Pemerintah Indonesia perlu terus meningkatkan tata kelola perikanan terutama terkait dengan aspek ketenagakerjaan dan perlindungan awak kapal perikanan. Regulasi perlindungan awak kapal perikanan yang saat ini ada belum terlalu efektif dilaksanakan karena lemahnya implementasi dan pengawasan pelaksanaan aturan. Hal ini menyebabkan, munculnya sejumlah kasus penelantaran awak kapal perikanan dan sejumlah indikasi kerja paksa yang dialami.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia, mengatakan bahwa pihaknya sebagai pengelola Fishers Center Tegal telah menerima aduan 7 orang awak kapal perikanan yang terlantar di Pelabuhan perikanan Merauke.
“Mereka diturunkan oleh nakhoda KM Jaya Utama dan akhirnya terlantar setelah sebelumnya merasakan kondisi kerja yang tidak nyaman, dan minimnya bahan bahan makanan diatas kapal ikan tempat mereka bekerja” kata Abdi. Pengoperasian dan pengelolaan Fishers Center di 2 lokasi yaitu Bitung dan Tegal mendapat dukungan dari SAFE Seas Project.
Ke-7 awak kapal perikanan tersebut, berasal dari pulau Jawa yang yang terjebak penipuan lowongan pekerjaan oleh calo pada iklan platform media sosial. “Rantai perjalanan mereka cukup panjang, berasal dari Jakarta dan sejumlah daerah di Jawa Barat, direkrut oleh nakhoda di Pekalongan, berangkat dari Surabaya menuju Sorong, mencari ikan di Dobo Kepulauann Aru dan terlantar di Merauke” kata Abdi.
Baca juga : 22 WNI Meninggal di kapal tiongkok
Selanjutnya, Abdi menerangkan bahwa Perjanjian Kerja Laut yang ditandatangani oleh ke-7 Awak Kapal Perikanan tersebut tertulis bahwa gaji mereka adalah Rp 30.00/hari ditambah bonus penangkapan. Jika mengacu pada Permen KP 42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut, pengupahan awak kapal perikanan diberikan 2 kali UMR. “PKL mereka tidak sesuai dengan Permen KP 42/2016 sebab tidak ada satupun provinsi di Indonesia saat ini yang menetapkan UMR Rp 900.000/bulan” kata Abdi.
Selain itu, korban melaporkan bahwa mereka terjebak utang kepada nakhoda yang akhirnya mengikat mereka untuk bekerja keras selama diatas kapal. “Sejumlah fakta tersebut mengindikasikan bahwa praktik kerja paksa dan bahkan perdagangan orang masih terjadi pada industri perikanan tangkap dalam negeri” kata Abdi
Atas kejadian tersebut, Abdi meminta Kementerian kelautan dan Perikanan serta pemerintah provinsi Maluku agar melakukan investigasi dan penyelidikan bersama serta melakuka mediasi dengan pemilik kapal.
Agar ke-7 orang tersebut dapat dipulangkan ke daerah asal. “Kami telah menyampaikan surat pengaduan dan kronologis kejadian kepada KKP dan Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku yang kemungkinan telah memberikan izin kepada kapal ikan KM Jaya Utama” kata Abdi. Dirinya juga mendesak kepada KKP agar melakukan operasi terpadu dan pengawasan di Laut Arafura untuk memastikan bahwa kapal ikan yang melakukan operasi penangkapan ikan telah mematuhi regulasi tentang Perjanjian Kerja laut.
Sementara itu peneliti DFW Indonesia Baso Hamdani, mengatakan bahwa ada ketidaksinkronan pelaksanaan aturan Perjanjian Kerja Laut oleh UPT Pelabuhan dibawah KKP dan provinsi. “Kapal ukuran dibawah 30GT yang izinnya dikeluarkan oleh Provinsi belum sepenuhnya patuh kepada Permen 42/2016 sehingga awak kapal yang bekerja di kapal ikan dengan izin daerah banyak yang tidak memiliki PKL” kata Baso.
Bukan cuma PKL, para awak kapal perikanan tersebut banyak yang tidak memiliki buku pelauta dan sertifikat basic safety training. “Untuk wilayah yang remote seperti Papua dan Maluku, tata kelola awak kapal perikanan kita belum optimal sehingga perlu pengawasan ketenagakerjaan yang lebih ketat” kata Baso.
Baca Juga : Terjerat hutang, 7 WNI Terlantar di Merauke
SAFE Seas Project yang didukung oleh Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (USDOL) berupaya memperkuat perlindungan awak kapal perikanan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong rantai pasokan yang adil dan transparan dalam industri perikanan di antara sektor swasta dan pemerintah. SAFE Seas Project bekerja sama dengan Yayasan Plan Internasional Indonesia dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia sebagai mitra pelaksana.