Tepat 20 Oktober lalu menandai empat tahun Pemerintahan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo dan Wakil Presiden Ma’aruf Amin. Selama masa tersebut, pemerintah seringkali membawa narasi-narasi besar maritim Indonesia seperti identitas Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar hingga Poros Maritim Dunia. Dalam tataran kebijakan, Presiden juga mengeluarkan Peraturan Presiden No. 34 tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) yang memiliki tujuh isu strategis diantaranya 1) pengelolaan sumberdaya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia 2) pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan laut 3) tata kelola dan kelembagaan laut 4) ekonomi infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan 5) pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut 6) budaya bahari dan 7) diplomasi maritim.
Nyatanya, KKI justru menjual sumber daya laut kepada kepentingan korporasi dan industri skala besar. Melalui kebijakan keterbukaan pasar, zonasi, dan rencana penangkapan ikan berbasis kuota, pemerintah mensponsori perampasan laut dari mereka yang hidup bergantung pada ekologi laut, yaitu nelayan dan masyarakat pesisir. Bukti nyata perampasan laut adalah ketika tingkat pemanfaatan ikan sudah mencapai over eksploitasi, masyarakat pesisir tergusur atas nama pembangunan, nelayan tradisional yang dipaksa untuk hidup bersama raksasa atau kapal-kapal besar, dan tidak ada pelibatan substansial dari masyarakat pesisir dan nelayan tradisional.
Perampasan laut juga tidak dapat dilepaskan dari kemunduran demokrasi Indonesia. Layaknya kebijakan di sektor daratan, KKI berpihak kepada pelaku usaha dan mengorbankan kepentingan ekologi dan hak asasi manusia. Melalui kemudahan berbisnis dan pelibatan publik yang minim, UU Cipta Kerja juga berkontribusi pada perampasan laut. Berikut catatan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia tentang indikasi perampasan laut dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’aruf Amin:
Privatisasi Sumber Daya Perikanan
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan melarang penggunaan kapal eks-asing dengan kapal berukuran lebih dari 150 GT untuk menangkap ikan di Indonesia,melarang penggunaan cantrang,dan transhipment. Industri perikanan juga masuk dalam daftar negatif investasi. Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing (IUUF) juga diberantas melalui kebijakan penenggelaman kapal dan pembentukan Satgas 115. Kebijakan tersebut berkontribusi positif terhadap pemulihan laut Indonesia, yang dibuktikan dengan peningkatan stok ikan dan berkurangnya tingkat IUUF. Meskipun di satu sisi, produksi perikanan Indonesia mengalami penurunan.
Jika ingin memulihkan laut Indonesia, Pemerintahan Jokowi-Ma’aruf Amin seharusnya melanjutkan kebijakan yang sudah terbukti sukses. Tetapi, kebijakan progresif tersebut justru dicabut melalui Peraturan Menteri KKP No. 58 tahun 2020 yang membatalkan moratorium dan pelarang transhipment. Melalui UU Cipta Kerja, penanaman modal asing pada sektor perikanan tangkap kembali diperbolehkan. Pasca kebijakan ini disahkan, terbukti terdapat peningkatan kapal-kapal diatas 30GT dan tingkat eksploitasi laut meningkat.
Privatisasi laut dilanjutkan dengan Penangkapan Ikan Terukur yang memberikan industri skala besar empat zona eksklusif untuk menangkap ikan. Melalui kuota, terdapat potensi nelayan lokal akan mendapat batasan untuk menangkap ikan. Penangkapan ikan memang harus dibatasi, tetapi seharusnya yang dibatasi adalah industri skala besar dan korporasi, bukan nelayan lokal. Selain itu, minimnya partisipasi publik kian menunjukan tidak ada keberpihakkan kepada nelayan lokal dalam perumusan PIT.
Perampasan Ruang Laut
Ruang laut juga dirampas dengan privatisasi melalui UU Cipta Kerja dengan mudahnya izin lokasi bagi usaha dan non-usaha melalui Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Ditambah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dikenakan bagi yang memiliki izin pemanfaatan menetap di ruang laut tersebut. Kebijakan tersebut melengkapi PP No. 32 tahun 2019 yang membagi laut menjadi Rencana Zona Kawasan Nasional Strategis, Kawasan Nasional Strategis Tertentu, dan Kawasan Pemanfaatan Umum di tingkat nasional. Di tingkat provinsi UU No. 1 tahun 2014 memandatkan Pemerintah Daerah untuk merumuskan Perencanaan Zonasi Wilayah Pulau-Pulau Terkecil (RPZWP3K).
Zonasi seharusnya dapat menjamin ruang bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Nyatanya, perumusan zonasi kehilangan syarat terpentingnya yaitu pelibatan masyarakat-masyarakat terdampak. Pihak yang dilibatkan dalam kebijakan justru korporasi. Izin zonasi pun menjamin kebutuhan pariwisata, industri, dan pertambangan untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir dan mengusir nelayan dan masyarakat pesisir yang mencoba merebut kembali tanah mereka.
Perampasan yang disponsori oleh zonasi juga terlihat dari pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus, Destinasi Wisata Premium yang sarat akan pelanggaran HAM. Di Mandalika, Komisi HAM PBB menyatakan terdapat pelanggaran HAM setelah adanya penggusuran paksa dan pengerahan aparat. Di Pulau Pari, nelayan lokal mengeluhkan kualitas air yang memburuk dan penangkapan ikan yang semakin sulit. Juga tidak dapat dilupakan kasus Rempang yang merupakan akibat dari RZWP3K yang memberikan ruang bagi pertambangan.
Baca Juga : Ocean Grabbing dalam Penangkapan Ikan Terukur
Hilirisasi tertahan Pelanggaran Hak Pekerja
Kebijakan Kelautan Indonesia memiliki ambisi meningkatkan hilirisasi industri perikanan. Ambisi ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa pasar-pasar Eropa dan Amerika Utara melacak indikasi kerja paksa dan perdagangan orang dalam rantai suplai perikanan tangkap Indonesia. Sehingga tidak mengherankan apabila Indonesia kalah dengan negara tetangga seperti Thailand dalam ekspor perikanan mengingat negara tersebut sudah memiliki kepatuhan terhadap HAM perikanan.
Meskipun sudah ada sertifikasi HAM, serangkaian pelanggaran HAM diatas kapal terus terjadi. Berdasarkan data National Fishers Center dari tahun 2019 hingga 2023, terdapat 112 kasus dan 316 korban pelanggaran hak pekerja seperti kerja paksa, intimidasi, dan kekerasan. Penelusuran yang DFW lakukan di Nizam Zachman, Benoa, Bitung dan Dobo juga menunjukan fenomena yang sama. Jika Indonesia tidak dapat menyelesaikan HAM di laut, ambisi hilirisasi produk perikanan tidak akan tercapai.
Laut yang belum terhubung
Janji pemerintah selanjutnya adalah menghubungkan Nusantara melalui tol laut dan menekan disparitas harga. Nyatanya, disparitas harga tidak kunjung menurun akibat adanya praktik monopoli dan mafia di rantai suplai komoditas yang panjang dan tidak dapat dijangkau oleh tol laut. Selain itu, masih ada ketimpangan muatan balik dibandingkan muatan berangkat dari kawasan industri di Jawa, pelayaran tol laut yang delay dan tidak terjadwal, waktu pelayaran dari Timur ke Barat yang kurang efisiensi dibandingkan layanan transportasi angkutan laut milik swasta.
Dualisme Pengawasan
Tidak cukup memberikan keleluasaan bagi korporasi dan industri skala besar dengan kemudahan usaha serta kebijakan yang berpihak kepada kepentingan pemodal, korporasi juga akan diuntungkan dengan dualisme antara Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) serta Badan Keamanan Laut (BAKAMLA). Akibatnya tidak adanya kejelasan mengenai wewenang kedua lembaga tersebut, aktivitas IUUF dan kriminalitas laut semakin mudah terjadi.
Laut Milik Rakyat.
Sejatinya, laut dimiliki oleh rakyat. Laut adalah ruang kolektif yang dapat diakses oleh siapa pun dan masyarakat pesisir serta nelayan tradisional adalah dua entitas yang berhak untuk menentukan bagaimana laut dikelola. Jika ada pembatasan terhadap ruang laut, maka yang dibatasi harusnya adalah korporasi dan nelayan industri. Masyarakat pesisir serta nelayan lokal berhak menentukan bagaimana batasan-batasan ditentukan. Seharusnya pemerintah memiliki peran penting untuk memastikan tidak ada pihak eksternal yang mengintervensi.
Perampasan laut dapat dikatakan perampasan apabila tidak ada pelibatan publik, transparansi dari pemerintah, dan akuntabilitas dari pembuat kebijakan. Kebijakan Kelautan Indonesia dapat berdampak positif jika berpihak kepada mereka yang bergantung pada sumber daya laut. Keterlibatan publik yang substansial juga menentukan kepada siapa kebijakan maritim berpihak. Nyatanya, yang terlihat dari Pemerintahan Jokowi adalah pemerintah membuka ruang privatisasi melalui perubahan kebijakan, zonasi, dan kuota, mengorbankan Kesehatan laut dan perlindungan HAM, dan membiarkan carut marut dalam pengawasan laut. Pemerintah bisa saja mengklaim kebijakan yang dikeluarkan ditujukan untuk kesejahteraan, tetapi nyatanya masyarakat pesisir dan nelayan lah yang tergusur, terpinggirkan, dan dipaksa untuk bertanggungjawab atas kerusakan ekologi laut.
Perampasan laut dapat berlanjut jika orientasi terhadap pembangunan terus dikedepankan. Juli lalu, pemerintah baru saja mengeluarkan Peta Jalan Ekonomi Biru yang sarat akan kepentingan pertumbuhan ekonomi dibandingkan pemulihan.
Menjelang Pemilihan Umum 2024, DFW mendorong masyarakat untuk memperhatikan secara serius kebijakan maritim yang dibawakan oleh kandidat eksekutif dan legislatif, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Baca Juga : Stranas Bisnis HAM: Dapatkah Menyelesaikan Pelanggaran HAM di Laut?
Narahubung
0858 3178 1183 (Miftachul Choir)
0821 4078 6462