Jakarta, 23 Juli 2025 – Indonesia per tahun 2022 memiliki 2.401.540 populasi nelayan dimana per 2023 85% dikategorikan sebagai nelayan kecil. Nelayan kecil bergantung pada ketersediaan BBM untuk kegiatan melaut. Namun, nelayan masih kesulitan mengakses subsidi BBM Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT/Solar). Terlebih, sejak naiknya harga BBM di 2022 turut berimbas pada menurunnya Nilai Tukar Nelayan selama periode 2022-2025.
DFW Indonesia telah melaksanakan Ekspose Hasil Survei Akses Nelayan Kecil Terhadap Subsidi Solar. Survei ini telah dilaksanakan sejak 8 Mei – 10 Juli secara luar jaringan (luring/offline) di beberapa titik di Indonesia antara lain: Denpasar, Kabupaten Kepulauan Aru, Baubau, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Pekalongan, Bitung, dan Jakarta Utara. DFW Indonesia melakukan survei kepada 184 nelayan kecil, dimana 87,5% responden telah melaut selama 16-20 tahun dengan menggunakan kapal dengan ukuran kurang dari 6GT.
Survei tersebut menunjukkan sekitar 66,3% responden tidak menerima BBM subsidi. Responden membeli BBM melalui pengecer atau peran middleman lainnya dan hanya sekitar 25% responden yang membeli di SPBU Khusus Nelayan (SPBN). Kondisi ini turut didukung dengan temuan bahwa meskipun mereka mengetahui adanya SPBN, mereka seringkali tidak tahu ketersediaan jumlah BBM subsidi di SPBN, atau bahkan ketersediaannya seringkali kosong. Disisi lain, 75% responden menyatakan bahwa jumlah BBM subsidi yang disediakan cenderung tidak mencukupi kebutuhan melaut mereka. Dengan intensitas melaut 21-25 kali dalam sebulan, mereka biasanya membutuhkan 5-30 liter BBM setiap melaut. Keterbatasan jumlah BBM subsidi ini membuat 41,8% responden tidak melaut lebih dari 5 kali dalam sebulan. “Nelayan-nelayan ini disulitkan dengan persyaratan administratif, tetapi untuk mendapatkan stok BBM subsidi ini juga sulit,” kata Zulkarnain Sahi, nelayan asal Gorontalo.
Pengecer berperan cukup dominan sebagai perantara aksesibilitas BBM untuk nelayan. Hal ini didukung oleh temuan bahwa meskipun jarak SPBN ke lokasi nelayan tergolong dekat, jumlah ketersebaran SPBN yang minim menyebabkan banyak nelayan harus antri lebih lama dari biasanya. Terlebih, 78,3% nelayan harus membayar lebih dari Rp6.800 per liter untuk membeli BBM. Sehingga, nelayan paling tidak harus mengeluarkan uang lebih dari Rp2.000.000 per bulan hanya untuk membeli BBM subsidi untuk mereka pergi melaut yang cukup memberatkan mereka. “Nelayan kecil utamanya di daerah Denpasar, Baubau, dan Kabupaten Aru mengantri selama lebih dari dua jam untuk membeli BBM subsidi,” kata Luthfian Haekal, selaku Human Rights Manager DFW Indonesia.
Terlebih nelayan kecil yang menjadi responden mengakui tidak memahami alur resmi cara mengakses BBM subsidi. BBM subsidi juga dinilai oleh responden masih belum adil terhadap nelayan kecil. Temuan survei menunjukkan bahwa paling tidak 53,8% responden menyatakan nelayan besar justru mendapatkan akses BBM subsidi. Ketimpangan akses BBM membuat banyak nelayan kecil menginginkan suara mereka didengar serta terlibat dalam pengawasan dalam distribusi BBM. “Perlu peningkatan peran koperasi atau kelompok nelayan dalam akses distribusi, karena sebesar 61,4% responden masih belum tergabung,” terang Haekal.
Menanggapi paparan Haekal, Niko dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan bahwa kebocoran subsidi solar meluas hingga sektor di luar perikanan. Kebocoran tersebut utamanya di sektor transportasi. “Kami mendapatkan pandangan dari teman-teman DFW bahwa kebocoran tidak BBM tidak hanya mengalir ke sektor lain, tetapi juga terdapat middleman yang mengalirkan ke nelayan-nelayan besar,” papar Niko. Ia pun menambahkan bahwa menurut kajian KNTI, barcode yang digunakan oleh nelayan kecil juga diperjualbelikan di marketplace. Hal tersebut turut menjadi sebab kurangnya subsidi BBM Solar bagi nelayan kecil.
Selain Niko, Panji Setyo Wibowo, Direktorat Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan bahwa saat ini pemerintah telah berusaha untuk memperbaiki sistem distribusi BBM subsidi bagi nelayan kecil. Perbaikan tersebut berupa komunikasi intens antar lembaga seperti Direktorat Kepelabuhanan dan BPH Migas, utamanya berkaitan dengan kartu Kusuka. “KKP dan BPH Migas sudah bersinergi berkait kemudahan nelayan mendapat subsidi BBM. Sudah ada sinkronisasi data dari Kartu KUSUKA ke aplikasi pertamina,” ucap Panji.
Bahan paparan dapat diakses di bawah ini.