Jakarta, 26 Agustus 2025 – Penerapan tarif ekspor oleh Trump akibat adanya kebijakan American First, berdampak cukup besar terhadap pasar produk perikanan di Indonesia. Pada April lalu, Trump mengeluarkan kebijakan tarif resiprokal sebesar 10% secara global. Sejak awal pengumuman tarif 10%, perusahaan dengan komoditas Tuna Loin yang memasarkan produknya ke Amerika Serikat telah menghentikan produksinya. Penerapan tarif tersebut berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja pengolahan ikan di Indonesia.
Pada pertengahan kuartal 2025, Trump mengirimkan surat kepada beberapa negara termasuk Indonesia dengan penetapan tarif sebesar 32%. Seiring perkembangan waktu, Trump menetapkan penurunan tarif dari 32% menjadi 19% ke Indonesia lebih rendah 1% dari produk asal Vietnam. Tarif tersebut berdampak terhadap kondisi ekonomi perikanan di Indonesia mengingat AS telah menjadi tujuan utama pasar produk perikanan di Indonesia dengan nilai mencapai USD 1,90 miliar pada 2024 atau sekitar 32% dari total ekspor produk perikanan.
Merespons hal tersebut, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia melaksanakan survei terbatas terkait Pengaruh Tarif Trump terhadap Ekonomi Perikanan Indonesia pada 22 Juli – 6 Agustus 2025. Survei ini telah diikuti oleh berbagai pelaku usaha, pemangku kepentingan, dan praktisi terkait. Dari survei yang telah dilakukan, ditemukan 82.5% responden setuju bahwa pasar produk ekspor perikanan Indonesia sangat bergantung kepada Amerika Serikat. Bergantungnya pasar produk ekspor perikanan ini kemudian berdampak pada beberapa komoditas seperti udang, tuna, tongkol, dan cakalang. Peningkatan tarif ekspor ini, menurut responden, akan berdampak pada penurunan kinerja ekspor, gangguan terhadap rantai pasok, serta penurunan minat terhadap pasar investasi.
Berdasarkan survei DFW, tarif Trump juga akan berdampak pada ketimpangan neraca dagang yang lebih menguntungkan AS dibandingkan Indonesia. Mayoritas sebesar 67.5% responden mengaitkan ketimpangan neraca dagang tersebut dengan kemungkinan kenaikan inflasi di Indonesia. Kenaikan inflasi dikarenakan produk yang diekspor dengan harga yang lebih tinggi akibat tarif ke Amerika sebesar 19%, sementara tarif produk impor dari Amerika yang masuk ke Indonesia sebesar 0%.
Menurut Luthfian Haekal, Human Rights Manager DFW Indonesia, terdampaknya beberapa komoditas perikanan untuk diekspor, akan berdampak pula pada serapan pekerja di pabrik pengolahan ikan. Dalam survei yang juga dilakukan oleh DFW pada tahun 2025, menemukan bahwa penerapan tarif ekspor Trump berdampak pada penghentian beberapa pekerja pengolahan ikan di beberapa daerah di Indonesia. “Di Bitung misalnya terdapat perusahaan dengan produk Tuna Loin melakukan PHK terhadap sekitar 60%-80% pekerjanya,” ujarnya.
Untuk itu, menurut Haekal sangat diperlukan adanya strategi diversifikasi pasar ekspor bagi produk perikanan Indonesia. Salah satu strategi yang dinilai berpotensi untuk dilakukan menurut para pelaku usaha yang menjadi responden dalam survei ini adalah penguatan kerjasama dengan negara anggota BRICS. Di sisi lain, 72.5% responden juga menilai bahwa saat ini pemerintah telah mendampingi pelaku usaha untuk diversifikasi pasar ekspor. Beberapa negara yang bisa dijadikan tujuan diversifikasi pasar ekspor antara lain: Tiongkok, Eropa, dan Uni Emirat Arab. Diversifikasi pasar ekspor dilakukan untuk mengurangi risiko guncangan pasar tunggal.
“Pemerintah setidaknya harus melakukan penguatan struktur ekspor. Penguatan tersebut bisa dilakukan melalui perluasan pasar ekspor non-AS dengan perjanjian dagang bilateral/multilateral di kawasan alternatif dan melakukan fasilitasi promosi produk perikanan di negara dengan tarif rendah atau nol tarif,” ujar Haekal.
Selain diversifikasi pasar ekspor, Haekal juga mengungkapkan tarif Trump merupakan momentum untuk mengembangkan barang substitusi impor -mayoritas responden 87.5% mendukung. Dalam pengembangan substitusi impor sebagai kerangka ekonomi sirkular, daya ekonomi warga merupakan titik utama. Namun, tantangan dalam pengembangan substitusi impor merupakan daya beli masyarakat yang dianggap masih kurang memenuhi (62,5%). Mayoritas pengusaha juga menganggap daya beli masyarakat masih kurang. “Sekitar 58% dari 19 pelaku usaha yang berhasil dijangkau, menilai daya beli masyarakat masih belum mampu untuk membeli barang yang diproduksi oleh pelaku usaha,” terang Haekal.
Baca hasil survei selengkapnya dibawah ini.