Bagi Hasil Tak Adil dan Mewujudkan Model Sistem Pengupahan Bagi Hasil Berkeadilan untuk Awak Kapal Perikanan 

Penulis: Ferre Reza

Pengupahan adalah bentuk alat tukar tenaga yang sangat krusial dalam dunia kerja, tidak terkecuali bagi mereka yang bekerja dalam sektor perikanan. Namun, pengupahan menjadi sebuah ironi dalam kondisi kerja di saat yang bersamaan. Kenyataannya, anak buah kapal (ABK) seringkali memperoleh upah yang tidak sesuai dengan yang upah yang sudah dijanjikan maupun dari beban kerja yang resikonya sangat tinggi. Inilah yang membuat kehidupan sosial-ekonomi ABK (nelayan penggarap) menjadi tidak sejahtera. Secara umum, Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 mencatat terdapat sekitar 3,9 juta masyarakat pesisir yang mengalami kemiskinan ekstrem dan 17,74 juta masyarakat pesisir yang mengalami kemiskinan (David Sexton, 2024). 

Sebelum melihat lebih lanjut tentang pengupahan yang ada dalam sektor perikanan tangkap, kita perlu mendudukkan definisi upah secara umum. Jika dilihat berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, maka definisi upah adalah sebagai berikut: 

“Upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”

Dari penjabaran PP tersebut bisa terlihat jelas jika upah merupakan sebuah hak yang harus diterima oleh setiap orang yang bekerja sebagai bentuk imbalan dari pihak pemilik atau pemberi kerja. Dalam industri perikanan tangkap di Indonesia, mayoritas dikenal dua sistem pengupahan yang masih digunakan sampai saat ini, yaitu sistem upah tetap dan bagi hasil. Dalam sistem upah tetap, awak kapal perikanan (AKP) yang berangkat bekerja di atas kapal akan dibayar dengan hitungan perhari, dengan nominal angka gaji harian yang sangat bervariatif, atau diakumulasi dalam bentuk gaji bulanan atau gaji per trip per layar.

Menariknya, secara historis, pola pengupahan bagi hasil adalah pola pengupahan tradisional dan tertua di perikanan tangkap Indonesia. Dalam perkembangannya dan variasi bagi hasil yang teramat beragam, telah ada hukum yang menjelaskan tentang persentase pembagian dalam sistem bagi hasil berdasarkan armada kapal yang digunakan. Hal ini terutama tercantum dalam UU Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan.

Pada UU tersebut, secara umum menjelaskan mekanisme bagi hasil. Pada pasal 3 dijelaskan bahwa bagi hasil berlaku dengan beberapa variasi: a) jika AKP yang memakai perahu layar mendapatkan minimal bagi hasil sebesar 75% dari hasil bersih; dan b) kapal motor minimal sebesar 40% dari hasil bersih. Namun, aturan ini seolah ditinggalkan begitu saja dengan kehadiran Permen KP 33 Tahun 2021. Dalam aturan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 Pasal 176 Ayat 1 dijelaskan bahwa: “Bagi hasil berdasarkan kesepakatan antara pemilik atau operator kapal perikanan dengan AKP harus dicantumkan secara rinci dalam Perjanjian Kerja Laut (PKL) .”

Realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Mayoritas AKP melakukan bagi hasil dari perjanjian yang dilakukan secara lisan oleh pihak pemilik kapal atau perusahaan. Mereka diwakili oleh nahkoda dan kebanyakan tidak tahu rincian upahnya. Adanya PKL itu sendiri hanya sebatas sebagai pemberi keterangan sistem upah apa yang digunakan oleh pihak perusahaan atau pemilik kapal serta perhitungan bagi hasilnya dengan menggunakan rumus tertentu yang tipikal–digunakan untuk mencentang kebutuhan administrasi formal. Namun, dari beberapa PKL yang sempat dilihat secara langsung di lapangan, tidak tercantum berapa besar nominal bagi hasil yang seharusnya mereka dapatkan. Hal inilah yang membuat AKP berada dalam posisi yang tidak pasti dari jumlah upah yang seharusnya mereka dapatkan sehingga pengupahan yang sifatnya tidak adil ini akhirnya melebar karena adanya ketidakjelasan dan ketidakadilan dari sisi jumlah nominal bagi hasil yang seharusnya mereka dapatkan. Adapun beberapa permasalahan yang dapat dirincikan diantaranya sebagai berikut. 

Pertama, pada dasarnya sistem bagi hasil banyak tidak dilakukan menggunakan rasa keadilan dalam pembagiannya. Padahal jika merujuk pada Kusumastanto et. al. (2005) dalam Ruslan et. al. (2013), sistem bagi hasil yang dirasa adil untuk nelayan adalah ketika pembagian bagi hasil tersebut telah memenuhi kriteria minimum yang diperoleh dari masing-masing pihak. Mudahnya, aspek keadilan disini artinya adalah pembagian yang merata secara persentase, misal 50% untuk pihak pemilik kapal dan 50% sisanya dibagikan kepada pihak ABK. Akan tetapi, sayangnya pembagian yang adil ini tidak begitu banyak dilakukan oleh perusahaan atau pemilik kapal terkait karena mereka diposisikan sebagai pemilik faktor produksi yang bertanggung jawab atas keuntungan secara penuh. 

Kedua, jika dilihat secara detail, sebenarnya terdapat miskonsepsi dalam sistem pengupahan bagi hasil yang selama ini digunakan. Permasalahan tersebut terletak pada optimalisasi kontrak yang terjadi antara pemilik kapal dan AKP berdasarkan waktu ketika balik modal usaha yang tidak diperhatikan. Menurut Yonvitner et. al. (2007), optimalisasi kontrak dilakukan sebagai bahan pertimbangan apakah pengoperasian armada penangkapan yang digunakan ini sudah balik modal yang nantinya keuntungan tersebut bisa dinikmati pemilik dan pembagian upah kepada AKP menjadi lebih adil. Meski begitu, terdapat sebuah kondisi yang membuat masing-masing pihak–dalam hal ini pemilik kapal dan AKP–yang tidak mungkin mendapatkan informasi terkait kapan expected return yang mereka dapatkan. Expected return artinya ialah rata-rata pengembalian yang diharapkan dari suatu investasi selama waktu periode tertentu dan dalam hal ini AKP memiliki peran yang kuat dalam expected return dari sektor perikanan tangkap. Akibat keadaan laut yang tidak menentu, expected return akhirnya tidak bisa ditentukan sehingga mempengaruhi jumlah hasil tangkapan yang didapatkan. 

Ketiga, terdapat pengaruh dari patron klien dalam pembagian hasil. Hal ini merujuk pada hubungan atau relasi sosial yang dimiliki antara pihak pemilik kapal dengan AKP sehingga hal ini membuat AKP menjadi bergantung dengan jalinan relasi yang mereka miliki untuk menjamin kelangsungan kehidupan sosial-ekonomi mereka. Dari beberapa obrolan yang sempat dilakukan di lapangan, patron-klien sifatnya menjadi kuat apabila ada ABK yang dibawa oleh nahkodanya dari kampung asalnya dan nahkoda yang sudah menjadi kepercayaan si pemilik kapal atau perusahaan sehingga jalinan relasi sosialnya menjadi lebih kuat. Dalam hal ini pengupahan bisa menjadi timpang misalnya upah yang didapatkan oleh nahkoda yang sudah menjadi kepercayaan proporsinya menjadi lebih besar ketimbang ABK-nya atau ada juga yang dengan alasan karena ABK-nya berasal dari satu kampung dengan nahkodanya jadi sama-sama mendapatkan proporsi yang cukup besar. 

Dari permasalahan yang sudah ada tersebut dapat terlihat setidaknya dua cara yang bisa digunakan untuk mendapatkan nominal pengupahan dari sistem bagi hasil yang lebih adil. Cara yang pertama, yaitu dengan menghitung kembali pembagian yang seimbang untuk pengupahan AKP dan mencantumkan proporsi nominal bagi hasil yang mereka dapatkan dalam lembar PKL. Hal ini berguna sebagai perjanjian kontrak yang tertulis dan lebih jelas untuk AKP, tidak hanya secara informal saja mengetahuinya. Kedua, dengan cara memperhatikan kembali optimalisasi kontrak yang ada antara pihak pemilik kapal dan AKP. Penggunaan optimalisasi kontrak ini mestinya berdasarkan break even point (BEP) atau waktu balik modal sebagai alat ukur untuk indeks proporsi tingkat bagi hasil yang diharapkan (Yonvitner (2007) dalam Tinjauan Sistem Bagi Hasil Perikanan Tangkap di Beberapa Lokasi Pantai Utara Jawa). Metode ini tergolong menjadi metode yang optimal antara AKP dan pemilik kapal jika menggunakan sistem BEP karena bisa ditentukan titik simetris antara modal dan hasil tangkapan. Penggunaan BEP ini ada rumusannya tersendiri yaitu sebagai berikut:

BEP: Fixed Cost Harga jual per Kg – Variable Cost per kg

Meski demikian, penggunaan metode BEP ini belum populer diterapkan oleh pihak perusahaan atau pemilik kapal saat ini, Namun, dengan menggunakan sistem ini setidaknya AKP bisa mendapatkan nominal bagi hasil yang lebih adil serta disamping itu pihak perusahaan juga bisa balik modal dari hasil tangkapan yang mereka terima. Hemat kami, pendekatan metode BEP ini penting dipopulerkan disosialisasikan dalam sistem pengupahan perikanan tangkap. Lebih jauh, sistem pengupahan yang berkeadilan harus disosialisasikan secara masif kepada AKP sebelum mereka berlayar supaya mereka bisa mengetahui bentuk pengupahan apa yang mereka dapatkan selama mereka bekerja. Tentunya, dua cara yang sudah ada ini nantinya mesti diperkuat dengan adanya kerja sama yang baik antara pihak pemilik kapal dengan para pekerjanya. 

References

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2021, August 25). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan Di Atas Kapal Penangkap Ikan Dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, Dan Penandaan Kapal Perikanan, Serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Retrieved June 24, 2025, from https://peraturan.bpk.go.id/Details/190283/permen-kkp-no-33-tahun-2021

Pemerintahan Pusat. (1964, September 23). Undang Undang No. 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Pemerintahan Pusat. Retrieved June 24, 2025, from https://peraturan.bpk.go.id/Details/50325/uu-no-16-tahun-1964

Sexton, D. (2024, October 24). Mengatasi Kemiskinan Pada Masyarakat Pesisir. PAIR. Retrieved June 24, 2025, from https://pair.australiaindonesiacentre.org/berita/mengatasi-kemiskinan-pada-masyarakat-pesisir/?lang=id

Tawari, R. H., Simbolon, D., Purbayanto, A., & Taurusman, A. A. (2013, August). Sistem Bagi Hasil pada Usaha Penangkapan Madidihang Skala Kecil di Kabupaten Seram Bagian Barat. Buletin PSP, 21(2), 237-245. Buletin PSP IPB. Retrieved June 23, 2025, from https://journal.ipb.ac.id/index.php/bulpsp/article/view/25295Yonvitner, Rizal, A., & Fitrianto, R. (2007, July 28). TInjauan Sistem Bagi Hasil Perikanan Tangkap di Beberapa Lokasi di Pantai Utara Jawa (Kasus Alat Tangkap Gillnet dan Cantrang) [Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian perikanan dan Kelautan]. IPB University. Retrieved June 23, 2025, from http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/36081

One Response

  1. Menarik sekali pembahasan tentang pentingnya penerapan metode BEP dalam sistem bagi hasil. Pendekatan ini bisa menjadi solusi konkret untuk menciptakan transparansi dan keseimbangan antara pemilik kapal dan awak kapal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mari tetap terhubung dengan kami

Kamu Tertarik Dengan kagiatan Kami?

Dukung kami untuk bisa terus berdampak melalui merchandise berikut: