Jakarta, 21 Oktober 2025 – Kuasa Hukum Korban Kapal Run Zeng 03 dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengadukan Penyidik Bareskrim Polri kepada Komisi Kepolisian Nasional Indonesia (Kompolnas) dan Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Profesi berupa proses penyelidikan dan penyidikan yang berlarut-Larut/Undue Delay. Pengaduan ini dilayangkan kuasa hukum korban karena diduga telah terjadi proses penyelidikan dan penyidikan yang berlarut-larut atas dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang terjadi di atas kapal perikanan KM Mitra Usaha Semesta (KM MUS) dan Kapal Run Zeng (RZ) 03. Kasus ini sebelumnya telah dilaporkan ke Bareskrim Polri sejak Juni 2024 dengan nomor Laporan Polisi: STTL/206/VI/2024/BARESKRIM.
Pihak-pihak yang dilaporkan yaitu MOP, R, GW, AW, dkk (dan kawan-kawan), namun hingga kini proses hukum berjalan lambat. Perkembangan kasus pada 3 Maret 2024, Bareskrim Polri melimpahkan penanganan perkara kepada Kepolisian Daerah (Polda) Maluku dengan dalih bahwa proses sudah di tahap penyidikan, namun setelah ditelusuri proses di Polda Maluku masih di tahap penyelidikan. Kuasa hukum korban juga telah melakukan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 25 September kemarin untuk mendorong Komnas HAM sebagai watchdog HAM independen, agar dapat bergerak dalam penanganan kasus ini.
Aduan ini dilakukan ke Kompolnas dan Itwasum untuk mendesak kedua lembaga untuk memeriksa, mengawasi dan memastikan akuntabilitas internal Polri dalam menanggapi situasi pada law enforcement kasus perdagangan orang ini. Kuasa Hukum Korban Kapal Run Zeng 03 menyampaikan bahwa Kompolnas dan Itwasum memiliki mandat untuk bisa memeriksa dan menindaklanjuti situasi yang terjadi hari ini dalam penanganan kasus dugaan TPPO yang terjadi di KM MUS dan Kapal Run Zeng 03.
Dios Lumban Gaol, Kuasa Hukum dari Korban Kapal Run Zeng 03 menyampaikan sudah lebih 1 tahun 3 bulan proses penanganan kasus yang dilakukan Bareskrim Polri tidak menunjukkan perkembangan. “Kasus ini masih jalan di tempat pada tahap penyelidikan, padahal tindak kejahatan dan pelaku yang terlibat sudah jelas, kami tekankan Bareskrim Polri tidak serius menangani kasus ini. Dalam situasi seperti ini korban akhirnya menjadi korban kembali karena Aparat Penegak Hukum gagal memenuhi hak korban” ujarnya. Dugaan ini dikuatkan dengan pelimpahan kasus dari Bareskrim Polri kepada Polda Maluku tanpa alasan yang jelas.
Disisi lain, Siti Wahyatun, Kuasa Hukum dari Korban Kapal Run Zeng 03 menyampaikan bahwa proses penyelidikan yang berlarut-larut dan cenderung lamban merupakan suatu bentuk penundaan keadilan. “Kita tidak boleh membiarkan keadilan terus tertunda, karena penundaan keadilan adalah ketidakadilan itu sendiri. Itwasum dan Kompolnas memiliki mandat untuk mengawasi kinerja Polri, kami berharap kedua lembaga ini mampu benar-benar untuk menjamin keprofesionalan penyelidik yang menangani kasus ini. Terlebih TPPO merupakan kejahatan kemanusiaan serius, jangan sampai korban kembali menjadi korban karena penundaan keadilan akibat ketidakprofesionalan penyidiknya,” pungkasnya.
Greenpeace Indonesia yang diwakili oleh Fildza Nabila selaku Juru Kampanye Laut menegaskan bahwa kasus kapal Run Zeng 03 menunjukkan bagaimana praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur IUU Fishing) memiliki harga yang sangat mahal bagi kemanusiaan, yaitu perbudakan modern dan perdagangan orang. “Ketika laut dijarah tanpa kendali, manusia pun ikut dieksploitasi di dalam rantai pasoknya. Karena itu, Greenpeace juga mendesak Polri, Kompolnas, dan Itwasum untuk memastikan penegakan hukum yang tegas, transparan, dan berpihak pada korban, agar kejahatan kemanusiaan di laut tidak terus berulang di balik praktik industri perikanan yang merusak dan tidak berkeadilan,” ujarnya.
Untuk itu, Kuasa Hukum Korban Kapal Run Zeng 03 menuntut kepada Kompolnas dan Itwasum untuk bisa melakukan pemeriksaan dan/atau pemantauan atas pengaduan sehubungan dengan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Profesi berupa proses penyelidikan dan penyidikan yang berlarut-Larut/Undue Delay, memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang dibutuhkan serta melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan lain, dan menyampaikan pemberitahuan penyelesaian penanganan pengaduan masyarakat serta melakukan pemantauan tindak lanjut terkait kasus ini.



