DFW Indonesia & SBMI Seret Kasus Eksploitasi ABK ke Komnas HAM: Dorong Penjaga HAM Independen Bergerak

Jakarta, 25 September 2025 – Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Laporan ini terkait eksploitasi dan kekerasan terhadap delapan Anak Buah Kapal (ABK) di kapal perikanan KM Mitra Usaha Semesta (KM MUS) dan Kapal Run Zeng (RZ) 03 di wilayah perairan Aru.

Kronologis Singkat Kasus

Pada April 2024, sejumlah Anak Buah Kapal (ABK) direkrut melalui media sosial dengan janji upah Rp2.000.000 per bulan, THR Rp2.000.000, serta premi hasil tangkapan. ABK dijemput dari Indramayu menuju Pati. Setelah ditampung di Pati, mereka diberangkatkan ke Pelabuhan Juwana untuk bekerja di KM MUS tanpa ada kontrak kerja.

Setelah berlayar, ABK dipindahkan ke kapal RZ 03 dan RZ 05 di wilayah perairan Aru. ABK bekerja dengan jam kerja panjang sejak pagi hingga malam, tanpa jaminan kesehatan maupun perlindungan kerja, serta hanya diberi makan sisa dari awak kapal lain. Permintaan ABK atas gaji dan THR ditolak, bahkan ABK diintimidasi dengan ancaman akan “diurus” oleh aparat militer laut jika menolak bekerja.

Kondisi semakin memburuk ketika ABK memutuskan mogok kerja dan meminta dipulangkan. Karena tidak kunjung mendapat kepastian, beberapa ABK mencoba melarikan diri dengan melompat ke laut. Tragisnya, salah satu ABK ditemukan oleh warga Koijabi, di pulau dekat Warabal, meninggal dalam keadaan tanpa kepala. Sementara, ABK lainnya, MS, berhasil selamat meski dalam kondisi kritis.

Kasus ini telah dilaporkan ke Bareskrim Polri sejak Juni 2024  dengan nomor Laporan Polisi: STTL/206/VI/2024/BARESKRIM dengan pihak-pihak yang dilaporkan yaitu MOP, R, GW, AW, dkk (dan kawan-kawan), namun hingga kini proses hukum berjalan lambat dan penanganan kasusnya dilimpahkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Maluku tanpa kepastian, dengan dalih bahwa telah terjadi tumpang tindih perkara. DFW Indonesia dan SBMI menilai situasi ini sebagai pelanggaran HAM serius karena mengabaikan hak untuk hidup, kebebasan pribadi, dan hak untuk tidak diperbudak sebagaimana dijamin konstitusi.

DFW Indonesia dan SBMI menegaskan, Komnas HAM memiliki mandat sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia untuk melakukan pengkajian, pemantauan, penyelidikan, serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR RI. Undang-undang tersebut juga mendefinisikan pelanggaran HAM sebagai setiap tindakan seseorang, kelompok, atau bahkan aparat negara yang membatasi atau mencabut hak asasi manusia, termasuk ketika korban tidak mendapatkan penyelesaian hukum yang adil. Dalam konteks perekrutan, penempatan, dan eksploitasi ABK di KM MUS dan RZ 03, tindakan tersebut jelas dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Oleh karena itu, DFW Indonesia dan SBMI meminta Komnas HAM segera melakukan penyelidikan, pemeriksaan, dan pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait, serta mengeluarkan rekomendasi resmi kepada pemerintah, DPR, dan Kepolisian agar kasus ini diselesaikan secara transparan, adil, dan berpihak pada korban. “Kasus ini memperlihatkan wajah gelap industri perikanan kita, di mana ABK diperlakukan hanya sebagai komoditas bisnis. Negara gagal memastikan pelindungan, sementara aparat penegak hukum membiarkan proses hukum berjalan lamban. Dari 2020 sampai 2024, SBMI menerima 643 aduan dari awak kapal perikanan, dan mayoritas di antaranya terindikasi kerja paksa dan perdagangan orang. Fakta ini menunjukkan persoalan ini bukan kasus tunggal, melainkan kegagalan struktural negara dalam tata kelola perikanan. Karena itu, kami meminta Komnas HAM hadir bukan sekadar sebagai lembaga formal, melainkan sebagai pengawas independen yang berani melakukan penyelidikan terhadap kasus ini i,” tegas Dios Lumban Gaol, Koordinator Hukum, Analisa Kebijakan dan Management Knowledge SBMI dan kuasa hukum para korban.

DFW Indonesia diwakili oleh Siti Wahyatun, Legal Officer DFW Indonesia dan kuasa hukum para korban, menyampaikan bahwa proses berjalannya kasus ini cenderung lamban. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakseriusan negara dalam memberantas TPPO khususnya dalam sektor perikanan, termasuk untuk melindungi pekerjanya dari eksploitasi. “Dalam satu tahun berjalannya proses kasus RZ, kami melihat bahwa durasi selama ini dengan progres  yang terbilang cukup minim menunjukkan adanya ketidakseriusan negara  untuk  membela, melindungi dan menghormati hak asasi manusia pekerja perikanan yang merupakan garda terdepan pangan laut kita. Sebagai negara maritim, Pemerintah Indonesia tidak mampu menunjukkan keseriusannya dalam melindungi para pekerja di sektor kelautan dan perikanan di wilayah Indonesia. Kami akan terus mendorong dan mengawal kasus ini demi keadilan yang berpihak pada korban, yang seharusnya dijamin oleh negara.” ujarnya. 


Kasus ini bukan sekadar pelanggaran aturan ketenagakerjaan, melainkan bentuk nyata perbudakan modern yang merampas hak hidup dan martabat manusia. Dengan 181 aduan yang melibatkan 514 korban yang telah diterima DFW Indonesia melalui National Fishers Center (NFC) Indonesia dalam enam tahun terakhir dan 643 aduan ABK yang telah diterima SBMI dalam empat tahun terakhir, sudah jelas bahwa praktik eksploitasi di sektor perikanan adalah darurat kemanusiaan. DFW Indonesia dan SBMI menegaskan, jika Komnas HAM gagal mengambil langkah tegas sebagai watchdog independen, maka negara akan terus membiarkan laut menjadi ruang tanpa hukum yang berarti juga melanggengkan perbudakan manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mari tetap terhubung dengan kami

Kamu Tertarik Dengan kagiatan Kami?

Dukung kami untuk bisa terus berdampak melalui merchandise berikut: