Expose Persepsi Publik atas Kebijakan PIT

Jelang rencana implementasi Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) di tahun 2024, kebijakan ini masih menjadi polemik di antara nelayan yang merupakan pihak yang terdampak secara langsung dari kebijakan ini. Destructive Fishing Watch Indonesia (DFW-I) memandang PIT dapat berpotensi menjadi sarana privatisasi laut dan hanya menguntungkan segelintir orang saja, khususnya nelayan skala industrial. 

Ditengah perdebatan publik atas kebijakan PIT yang masih memanas, DFW mengadakan jajak pendapat melalui survey dalam jaringan untuk memetakan tanggapan masyarakat terdampak atas kebijakan PIT. Melalui survey ini, responden menggarisbawahi permasalahan utama antara lain sosialisasi yang belum efektif, pemahaman terbatas, dan ketidaksiapan infrastruktur di lapangan.

Survey dibagikan dalam jaringan pada tanggal 11 Oktober sampai dengan 4 November dengan total 202 responden di 14 provinsi di Indonesia.  Responden didominasi oleh pelaku usaha perikanan (28%), disusul oleh awak kapal perikanan (20%) dan nelayan skala kecil (19%). Berdasarkan domisili, pengisi survey paling banyak berada di Sulawesi Utara (23,88%), Maluku (15,42%), dan Sulawesi Tenggara (12,99%) dengan wilayah tangkapan di zona 3 (43%) dan zona 2 (21%).

Pengetahuan PIT masih Minim 

Responden survey mengindikasikan PIT hanya dipahami secara parsial atau sebatas penangkapan ikan berbasis kuota, perubahan formula perizinan penangkapan ikan terukur, penangkapan ikan berbasis zona, dan PNBP pasca produksi. Pemahaman yang parsial memungkinkan apabila pemahaman PIT didapat dari sumber sekunder seperti media sosial dan media massa, dibandingkan pihak pelabuhan atau perwakilan pemerintah. Menurut Felicia Nugroho, peneliti DFW, fakta ini menunjukan pemerintah belum proaktif dalam menyebarluaskan informasi tentang PIT.

Padahal, kebijakan PIT lebih dari sekedar pengaturan zonasi, atau pun penangkapan ikan berbasis kuota. Pihak yang terdampak dari kebijakan ini seharusnya memahami dampak implementasi kebijakan ini dalam kehidupan sehari-hari mereka, pra-kondisi untuk mendorong implementasi, dan cara dalam mengimplementasikan kebijakan. Namun, 36% responden menjawab PIT tidak bermanfaat, 10% menambah pendapatan negara, 15% keberlanjutan lingkungan dan kelestarian laut, dan 13% pemerataan kuota tangkapan. 

Sosialisasi Tidak Efektif

Sebanyak 48% responden mengaku telah mendapat sosialisasi dari pemerintah. Namun, pengetahuan minim dan belum menyeluruh menunjukkan masih belum efektifnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Hal ini terlihat dari responden mengakui materi didominasi oleh pemungutan PNBP, penjatuhan sanksi apabila tidak mematuhi aturan, serta perubahan mekanisme perizinan. Adapun sosialisasi dilakukan dengan undangan oleh pemerintah secara daring melalui zoom (24%), dilakukan dalam jaringan pemerintah melalui pelabuhan (23%), atau diinformasikan secara langsung oleh syahbandar (11%). 

Selain itu, sosialisasi tidak dilakukan secara menyeluruh kepada tiap-tiap kelompok nelayan. Responden yang terdiri dari pemilik kapal 5 GT sampai lebih dari 30 GT, nelayan skala kecil dengan kapal <5GT, pelaku usaha perikanan, dan pengurus kapal, 48% menyatakan pernah ada sosialisasi. Sisanya sejumlah 27% mengaku tidak pernah ada sosialisasi dan 25% tidak tahu adanya sosialisasi. Sosialisasi tidak menyasar pada nelayan kecil, namun hanya pengurus dan pemilik kapal. Hal ini terlihat dimana hasil jajak pendapat yang menyatakan pernah mendapatkan sosialisasi adalah pengurus dan pemilik kapal (16%) sedangkan hanya 4% nelayan skala kecil yang menyatakan yang pernah mendapatkan sosialisasi. Kurangnya sosialisasi pemerintah kepada pelaku usaha dan nelayan terkait pelaksanaan aturan PIT (penerapan kuota, e-PIT, dan PNPB pasca produksi) menyebabkan ketidakjelasan informasi yang diterima. 

Situasi ini menunjukan sosialisasi tidak dijalankan secara substansial. “Sosialisasi tidak boleh hanya dilakukan ketika kebijakan sudah selesai dan ditetapkan, tetapi harus sejak awal mula kebijakan dirumuskan” ungkap Felicia Nugroho. Selain itu, materi sosialisasi tidak hanya sebatas informasi tentang implementasi aturan, tetapi juga dasar-dasar ilmiah dan yuridis kenapa aturan tersebut diperlukan, dampak yang akan terjadi, dan proses perumusan kebijakan sejak awal.

Tidak Siap secara SDM, Infrastruktur dan Fasilitas

Dalam pelaksanaannya, PIT membutuhkan kesiapan infrastruktur, birokrasi, dan sumber daya manusia. Ketika digali lebih lanjut bagaimana persepsi responden terhadap kesiapan pelaksanaan PIT, sebagian besar responden melihat kesiapan SDM menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan PIT disertai juga dengan kejelasan informasi mengenai PIT. Permasalahan ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari kurang efektifnya sosialisasi dan petugas yang diberikan pemahaman PIT masih terbatas dan seringkali ditemukan berbeda-beda penjelasan. Apabila petugas sendiri tidak mengerti PIT secara menyeluruh, tentu saja akan berdampak pada kualitas implementasi.

Salah satu mekanisme dalam implementasi PIT adalah aplikasi E-PIT, dimana kapten kapal akan memasukan data mengenai jumlah tangkapan untuk secara langsung mengetahui besaran PNPB yang harus dibayarkan kepada negara. Namun, sebanyak 36,7% mengaku belum mengetahui aplikasi E-PIT. 

Tantangan selanjutnya menurut responden dari survey ini adalah ketidaksiapan infrastruktur seperti lokasi timbangan atau pendaratan ikan dapat berpotensi merusak kualitas ikan karena harus terpapar oleh sinar matahari. Beberapa responden juga mendeskripsikan proses bongkar-muat ikan menjadi lebih lama yang akan berimbas kepada waktu tunggu awak kapal dan parkir kapal yang lebih lama. 

Sarat Hambatan dan Potensi Masalah dalam Penerapan Kebijakan PIT

Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, responden survey menganggap permasalahan yang paling penting untuk diantisipasi adalah adanya konflik antara nelayan lokal dengan perusahaan asing. Hal ini ditenggarai merupakan implikasi pembagian zonasi industri dan zonasi nelayan, dimana wilayah nelayan tradisional hanya sebatas 12 mil, serta migrasi perizinan dari daerah ke pusat. 

Potensi permasalah selanjutnya adalah konflik antar nelayan, dan kekhawatiran akan disalahgunakannya kuota tangkapan. Saat ini, pemerintah belum menetapkan aturan tentang mekanisme pembagian kuota. Namun, dengan tidak adanya keterlibatan nelayan tradisional dalam pembuatan kebijakan ini tentu saja tidak berlebihan jika kuota dikhawatirkan hanya akan dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha saja. Dalam kata lain, oligarki laut akan berkembang dan berkonsolidasi. Jika tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel, kuota juga dapat menjadi sarang perburuan rente. 

Saran dan Rekomendasi

Pertanyaan terbuka diberikan pada responden mengenai saran dan rekomendasi dalam apabila kebijakan PIT ini tetap dilaksanakan pada tahun 2024. Enam rekomendasi yang disimpulkan ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam memastikan efektivitas dan kesejahteraan nelayan melalui pelaksanaan PIT. 

  1. Perlunya sosialisasi pemerintah yang menyasar nelayan terkait pelaksanaan aturan PIT, baik penerapan kuota, e-PIT, dan PNPB pasca produksi.
  2. Memastikan kejelasan penjelasan kebijakan yang diberikan petugas di lapangan untuk implementasi serta keadilan mengenai pembagian kuota tangkapan.
  3. Responden menghendaki penyederhanaan proses perizinan dan administrasi serta memberi kewenangan kepada PPS di daerah untuk pelaksanaan PIT.
  4. Pemerintah disarankan untuk memastikan kesiapan petugas, anggaran dan infrastruktur sebelum memberlakukan PIT di 171 pelabuhan sasaran kebijakan PIT. Selain itu perlu pengawasan yang jujur dan transparan dalam timbangan di pelabuhan.
  5. Pemberian perlindungan kepada nelayan skala kecil dari kapal asing atau investor yang beraktifitas tangkap skala besar yang merugikan sumber daya ikan dan lingkungan.  
  6. Perlunya kajian kesiapan dan kemungkinan penundaan pelaksanaan jika diperlukan. 

Berdasarkan hasil jajak pendapat cepat dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Ocean Solutions Indonesia, dan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta,  pelaksanaan kebijakan PIT ini masih jauh dari siap untuk dilaksanakan pada tahun 2024.  Beberapa infrastruktur dan kesiapan pemahaman pelaksana diragukan untuk siap diimplementasikan di 171 pelabuhan di Indonesia. Studi persepsi masyarakat mengenai PIT ini telah menggambarkan ketidakpuasan terhadap kebijakan PIT dimana banyak  kritik dan potensi dampak kerugian yang akan dirasakan bagi nelayan kecil dan tradisional. PIT yang dianggap lebih menguntungkan korporasi dan modal asing daripada nelayan lokal yang mana aktivitas tangkap skala besar justru mengeksploitasi sumber daya ikan dan adanya potensi kerusakan lingkungan. 

Narahubung:

0858 3178 1183 (Miftachul Choir)

0821 4078 6462 (Felicia Nugroho)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mari tetap terhubung dengan kami