Bitung, 23 September 2025 — Salah satu titik rantai pasok tuna global berada di Indonesia, khususnya di Bitung, Sulawesi Utara. Hal ini terjadi tentunya tidak lepas dari dukungan ribuan awak kapal perikanan (AKP), pekerja Unit Pengolahan Ikan (UPI), dan berbagai pelaku usaha perikanan yang terhubung dengan pasar domestik maupun internasional. Perkembangan ini tentunya membutuhkan upaya perlindungan kerja bagi elemen di sektor perikanan, khususnya AKP. Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia melalui National Fishers Center (NFC) Indonesia telah mencatat 167 kasus dengan 439 korban selama 6 tahun terakhir yang mengalami kondisi kerja yang tidak layak diatas kapal, dimana beberapa diantaranya mengarah ke dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Menyikapi hal tersebut, DFW Indonesia bekerja sama dengan Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung melaksanakan “Kuliah Umum: Edukasi Pencegahan TPPO dan TPPM Bagi Calon Tenaga Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan”. Kuliah umum ini dihadiri oleh 260 peserta yang merupakan dosen dan taruna dari Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung. Kegiatan ini diisi oleh Gifliyani K. Nayoan selaku Plt. Kepala Pusat Kajian Gender & Anak dari Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado, Siska Pangalila selaku Sekretaris Dinas Tenaga Kerja Kota Bitung, dan Cindy Mudeng selaku Fasilitator Lapangan DFW Indonesia.
Rudi Saranga, Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung menyampaikan kuliah umum merupakan bentuk edukasi bagi para taruna. Baginya, kuliah umum ini dapat menjadi bekal awal bagi taruna yang akan bekerja di atas kapal. “Potensi TPPO merupakan sebuah kejahatan yang sebetulnya tidak bisa kami hindari jika bekerja diatas kapal. Maka itu, kami menyambut baik adanya inisiasi kuliah umum ini untuk bisa meningkatkan pengetahuan para taruna mengenai potensi perdagangan orang bahkan penyelundupan manusia diatas laut,” kata Rudi.
Pada tahun 2025 di Sulawesi Utara marak kasus perdagangan orang lintas negara. Korban perdagangan orang jumlahnya terus meningkat, baik yang berpendidikan rendah dan berpendidikan tinggi. “Pekerja migran ilegal diangkut dari Bolaang Mongondow ke Manado sebelum diangkut ke Jakarta. Setelah sampai di Jakarta, mereka dikirim ke Batam dan akhirnya sampai di Kamboja,” kata Gifliyani.
Pada kesempatan tersebut, Sekretaris Dinas Tenaga Kerja Kota Bitung, Siska Pangalila menuturkan peran penting skema perjanjian kerja tertulis. Perjanjian tertulis antara pekerja migran Indonesia dan pemberi kerja, baginya dapat meminimalisir adanya potensi kerja paksa maupun TPPO. Peraturan perundang-undangan dapat optimal melindungi pekerja melalui perjanjian kerja tertulis karena di dalam perjanjian tertulis, terdapat syarat kerja, hak dan kewajiban setiap pihak, serta jaminan keamanan dan keselamatan selama bekerja. “Jika berminat untuk bekerja di luar negeri, maka jadilah pekerja migran yang legal. Dengan bekerja secara resmi, kamu dipastikan akan dilindungi baik dari sebelum, saat, dan sesudah masa kerja oleh negara,” ujarnya.
Berdasarkan DFW Indonesia melalui layanan NFC di Sulawesi Utara, terdapat 45 aduan dengan jumlah korban sekitar 92 orang. Aduan tersebut mayoritas berasal dari dalam negeri sekitar 68,9% dan 31,1% luar negeri. Jenis aduan yang ditangani oleh NFC paling banyak terkait dengan gaji yang tidak dibayarkan atau pemotongan upah sekitar 40% dan 33,3% terkait asuransi maupun jaminan sosial. Sementara, dari sisi aktor terlapor, perusahaan pemilik kapal dan agen penyalur tenaga kerja menempati posisi dominan, masing-masing 40%.
Berdasarkan penanganan kasus yang telah dilakukan oleh NFC, Cindy Mudeng, Fasilitator Lapangan, DFW Indonesia memaparkan korban dijerat melalui tiga pola, yaitu penipuan sejak awal rekrutmen, jeratan hutang sebagai syarat keberangkatan, dan dijanjikan gaji besar. Baginya, tiga pola tersebut tidak hanya pintu masuk eksploitasi terhadap pekerja, tetapi menandai kerentanan yang pekerja dibentuk sejak sebelum mereka menaiki kapal. Kerentanan dari pola-pola tersebut kemudian berlanjut ketika pekerja sudah berada di atas kapal. “Isu dan kasus di sektor pekerja perikanan menyangkut penahanan dokumen sebagai jaminan, akses yang sulit terhadap asuransi dan jaminan sosial, serta praktik perekrutan yang tidak resmi,” terangnya.
Cindy juga menyoroti masih rendahnya edukasi, informasi, dan akses pengaduan bagi pekerja perikanan. Oleh karenanya, DFW Indonesia membuka layanan NFC yang bisa diakses oleh pekerja perikanan di seluruh Indonesia tanpa dipungut biaya apapun. Tidak hanya layanan pengaduan, NFC juga membuka layanan informasi dan edukasi, serta rujukan dan data.
“Barangkali setelah lulus, rekan-rekan yang akan bekerja di kapal perikanan ternyata mengalami atau menemukan kendala dalam pekerjaannya, atau ternyata butuh bantuan dalam memberikan informasi terkait pekerja perikanan, silahkan hubungi NFC via hotline kami di WhatsApp atau website, nfc.or.id,” tutupnya.
Baca Juga: Peringatan Hari TPPO: Sengkarut Pekerja Perikanan Domestik