Indonesia kembali menempati posisi Tier-2 dalam Laporan Tahunan Tindak Pidana Perdagangan Orang (“TPPO”) yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Pemerintah Amerika Serikat. Laporan tersebut mencatat Pemerintah Indonesia tidak memenuhi standar minimum melawan perdagangan orang, tetapi telah meningkatkan upaya dalam investigasi dan penindakan yang berpotensi terjadi tindak pidana perdagangan orang, termasuk dalam sektor perikanan.
Nyatanya, peringkat tersebut tidak sesuai dengan realita pengentasan TPPO di Indonesia. Pada April dan Mei 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (“KKP”) melalui Dirjen Pemantauan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (“PSDKP”) berhasil menangkap kapal ikan Indonesia KM Mitra Utama Semesta (“KM MUS”) dan kapal ikan asing KM Run Zeng 03 setelah adanya dugaan terlibat dalam Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (“IUUF”). Pada saat yang sama, kanal National Fisher Centre (“NFC”) yang dikelola oleh DFW-I menerima laporan dari Awak Kapal Perikanan (“AKP”) yang bekerja di KM MUS dan KM Run Zeng 03 bahwa adanya indikasi TPPO di kedua kapal ini.
Dugaan TPPO yang melibatkan KM MUS dan KM Run Zeng tentunya bukan satu-satunya kasus yang terjadi di sektor perikanan. Selama Juni 2023 – Juli 2024, NFC juga menerima enam aduan AKP migran berpotensi menjadi korban TPPO. “Kasus ini membuka tabir kegagalan Pemerintah Indonesia dalam mencegah, menangani, dan menindaklanjuti dugaan TPPO di sektor perikanan serta pengentasan TPPO tidak hanya membenahi tata kelola AKP migran, melainkan juga membenahi tata kelola AKP domestik sebagaimana diatur dalam Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 33 tahun 2021.” ujar Miftachul, Human Rights Manager DFW. Maka dari itu, DFW-I memandang Pemerintah Indonesia tidak pantas menduduki Tier-2 dan menyoroti setidaknya ada enam permasalahan yang harus segera ditindaklanjuti:
1. Lemahnya Penegakan Hukum dan Pengawasan di Laut
Laporan yang diterima NFC menunjukan bahwa korban tidak mengetahui bahwa dirinya akan bekerja di kapal perikanan asing. Berbeda dengan kasus-kasus TPPO pada umumnya, yang mana AKP secara prosedural telah mendaftarkan diri di perusahaan perekrutan untuk kemudian dipekerjakan di kapal asing. Para korban terpaksa menjadi pekerja migran tidak prosedural ketika dipindah secara paksa ke KM Run Zeng 03 dan 05 ditengah Laut Arafura. Seharusnya, Pemerintah melalui Syahbandar Perikanan selaku otoritas yang ditugas untuk mengesahkan dan memeriksa administrasi dan keselamatan pelayaran, termasuk diantaranya Perjanjian Kerja Laut (“PKL”) yang berisi identitas kapal, identitas pribadi, upah, daerah penangkapan, hingga alat tangkap.
Dugaan perdagangan orang juga disertai pelanggaran Undang-Undang Perikanan yang melibatkan KM Run Zeng 03 dan 05. Pasalnya, kedua kapal asing ini tidak memiliki izin untuk berlayar dan menangkap ikan di perairan Indonesia serta terindikasi terlibat dalam IUUF. “Fenomena ini menunjukan lemahnya pengawasan laut Indonesia sehingga kapal-kapal ikan asing dapat bergerak bebas, mencuri sumber daya perikanan Indonesia dan menggunakan tenaga kerja perikanan yang diupah murah. Padahal, sudah ada tujuh otoritas yang bertugas mengawasi lautan Indonesia.” ujar Miftachul.
Jika Laporan Perdagangan Orang Pemerintah Amerika Serikat mengklaim bahwa Pemerintah Indonesia mampu menginvestigasi tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di sektor perikanan. Namun fakta menunjukkan sebaliknya, terlihat dari dugaan terjadinya perdagangan orang yang terjadi di atas kapal KM MUS, KM Run Zeng 03 dan 05 belum mampu diinvestigasi. Pasalnya, kapal perikanan asing berbendera Rusia tersebut tercatat berada di perairan Indonesia sejak Juni 2023. Sehingga, tidak mungkin kapal ini dapat leluasa menangkap ikan di lautan Indonesia jika tidak ada aktor yang ‘menjamin’ aksesnya.
2. Pekerja Anak di Sektor Perikanan
Laporan NFC terkait KM MUS dan KM Run Zeng 03 serta 05 juga menemukan adanya tiga orang yang berusia dibawah umur. Padahal, kerja di kapal ikan Indonesia membutuhkan Perjanjian Kerja Laut, Kartu Tanda Penduduk. Keberadaan pekerja anak juga melanggar Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 yang tidak memperbolehkan anak dibawah 18 tahun untuk bekerja.
Lagi-lagi, ini menunjukan kelalaian Pemerintah Indonesia dalam memastikan terpenuhinya Perjanjian Kerja Laut bagi seluruh AKP sebelum kapal perikanan Indonesia diberangkatkan. Para korban yang direkrut dan dimanipulasi oleh calo juga merupakan imbas dari belum diaturnya penempatan dan perekrutan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 tahun 2021.
3. Dualisme perizinan masih menghantui penanganan TPPO
Terhitung sejak 14 Juni 2023 hingga 15 Juli 2024, terdapat 52 agensi perekrutan yang mendaftar ke Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan. Padahal, Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2022 memandatkan agensi perekrutan untuk mendaftar melalui Kementerian Tenaga Kerja. Resiko terhadap perusahaan yang terdaftar melalui SIUPPAK terlihat dalam laporan yang diterima oleh NFC dari Juni 2023 hingga Juni 2024, dimana terdapat dua terlapor terhadap perusahaan perekrutan asal Pemalang, Jawa Tengah, yang terdaftar di SIUPPAK.
Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 dalam Pasal 1 angka 25 Ketentuan Umum telah memberikan definisi Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Dualisme perizinan ini menghambat penempatan pekerja migran Indonesia untuk terwujudnya hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak serta dilakukan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum. Ketentuan Penutup dalam PP No 22 Tahun 2022 yang tidak mencabut kewenangan penerbitan SIUPPAK yang menjadi permasalahan dualisme perekrutan penempatan awak kapal yang saat ini masih dibuka permohonannya melalui website Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
“Oleh karenanya, dualisme perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan ini berpotensi menjadi celah terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang karena fungsi pengawasan dalam rezim perizinan sebagai suatu tindakan persetujuan yang diberikan oleh Pejabat Pemerintah yang berwenang sehingga fungsi pengawasan pekerja migran serta AKP migran dan lokal dikembalikan kepada Kementerian Ketenagakerjaan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.” ujar Guntur, National Fishers Centre officer.
4. Penerbitan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal
Setidak-tidaknya PP Nomor 22 tahun 2022 memandatkan empat peraturan pelaksana yang harusnya diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga yang menyelenggarakan bidang ketenagakerjaan sehubungan dengan penempatan dan perlindungan awak kapal migran. Adapun peraturan pelaksana yang kami catat adalah sebagai berikut: (i) Peraturan Menteri mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Awak Kapal Niaga Migran, (ii) Peraturan Menteri mengenai perlindungan Awak Kapal Migran dan Niaga Migran selama bekerja, (iii) Peraturan Menteri mengenai penempatan Awak Kapal Perikanan Migran, dan (iv) Peraturan Menteri mengenai perlindungan selama bekerja bagi Awak Kapal Perikanan Migran.
Namun, tujuan pemerintah tersebut hanya sebatas hitam di atas putih yang dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022. Nyatanya, kekosongan peraturan pelaksana terkait penempatan dan perlindungan awak kapal niaga dan perikanan migran menjadi mekanisme izin yang selektif merupakan suatu kontrol yang terukur, hati-hati dan prosedural dalam pemberian izin penempatan pekerja migran kepada pengusaha agar perlindungan kepada awak kapal niaga dan perikanan dapat lebih optimal.bukti ketidakseriusan pemerintah dalam memperhatikan tata kelola penempatan awak kapal niaga dan perikanan migran. Padahal, dengan ketidakjelasan dan kekosongan aturan pelaksana tersebut akan berpotensi menjadi korban selanjutnya terhadap resiko pekerjaan sebagai pekerja migran Indonesia termasuk potensi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.
5. Pentingnya Upaya Ganti Kerugian Terhadap Pelaku IUU Fishing
Kapal asing yang beroperasi di wilayah Indonesia erat dengan IUU Fishing dan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Buruknya lingkungan kerja yang terjadi di atas kapal kerap kali terjadi dan dialami oleh Awak Kapal Perikanan seperti gaji rendah dan/atau gaji yang tidak dibayarkan, kondisi hidup dan kerja yang tidak layak, serta adanya kekerasan fisik yang bertujuan untuk mengeksploitasi Awak Kapal Perikanan. Selain itu, berbagai macam alat penangkapan ikan yang dilarang penggunaannya seperti menggunakan trawl, cantrang, pukat ikan, racun, listrik dan bahan peledak atau bahan berbahaya lainnya yang merusak lingkungan laut terjadi dalam aktivitas ilegal penangkapan ikan.
Padahal, laut merupakan ekosistem hayati tidak hanya ikan tetapi juga rumah bagi biota laut sehingga perlindungan dan pengelolaan laut harus dilakukan sebagai upaya sistematis dan terpadu untuk melestarikan fungsi ekosistem laut dan mencegah terjadinya kerusakan laut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009”) sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 menegaskan bahwa setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi. Pasal 87 juga menegaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa perusakan lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga mengatur secara tegas terkait hak gugat atas kerusakan lingkungan hidup merupakan kewenangan Pemerintah. Oleh karenanya, penting untuk Pemerintah melakukan upaya gugatan atas ganti kerugian terhadap pelaku IUUF yang melakukan aktivitas tanpa izin di wilayah Indonesia tidak hanya dilakukan kepada nahkoda / kapten kapal tetapi tidak terbatas pada pengusaha dan/atau penerima manfaat dari pelaku IUUF tersebut sehingga menimbulkan pihak-pihak yang terlibat sebagai pelaku IUUF dapat mempertanggungjawabkan tindakan IUUF dan perusakan lingkungan laut.
Pengentasan TPPO dimulai dari melindungi AKP domestik, sehingga membutuhkan kerjasama antara Kementerian Tenaga Kerja dan KKP. Untuk itu, DFW Indonesia merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk melakukan Tindakan berikut:
- Mendorong pengesahan RUU Kelautan yang mengandung fusi antara BAKAMLA dan KPLP
- Mencabut wewenang penerbitan SIUPPAK dari Kementerian Perhubungan dan melimpahkan wewenang perlindungan PMI kepada Kementerian Ketenagakerjaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia;
- Membuat aturan teknis turunan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 terkait mekanisme perekrutan dan penempatan AKP migran dan lokal serta melakukan pemantauan serta evaluasi terhadap manning agency;
- Melakukan sosialisasi dan edukasi masif kepada masyarakat terkait unsur, bentuk dan tata cara pelaporan Tindak Pidana Perdagangan Orang, baik melalui sosialisasi dan edukasi langsung, melalui serikat pekerja dan pelaku usaha, media sosial, informasi cetak dan media lainnya, serta mempublikasikan laporan sosialisasi dan edukasi tersebut kepada masyarakat sebagai informasi publik;
- Melakukan peningkatan kapasitas dan pendidikan khusus yang dapat membangun perspektif nilai dan pemahaman kepada Kementerian dan/atau Lembaga serta Aparat Penegak Hukum terkait dengan penanganan kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya di kawasan laut;
- Menuntut ganti kerugian kerugian kepada pelaku IUUF karena telah melakukan praktik ilegal penangkapan ikan dan perusakan lingkungan laut.
Narahubung
Miftachul – Human Rights Manager – 085831781183
Guntur – National Fishers Centre – 081284605690