Benoa, 1 Oktober 2025 — Kondisi kerja awak kapal perikanan di Indonesia masih menunjukkan kerentanan serius. Berbagai persoalan mulai dari proses rekrutmen, status hubungan kerja, pengupahan, jam kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), hingga indikasi kerja paksa masih membayangi AKP. Dalam sejumlah kasus, praktik kerja paksa muncul akibat dari lemahnya tata kelola perekrutan tenaga kerja dalam sektor perikanan.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia melalui National Fishers Center (NFC) Indonesia, sepanjang tahun 2025 telah tercatat 19 pengaduan dengan melibatkan 66 korban, dimana 73,7% diantaranya adalah kasus yang menimpa awak kapal perikanan domestik, dengan terlapor adalah agen penempatan tenaga kerja.
Merespon hal tersebut, DFW Indonesia didukung oleh Yayasan International Pole and Line Foundation (IPNLF) Indonesia menyelenggarakan “Pertemuan Penguatan Kelembagaan Agen Perekrutan Tenaga Kerja Swasta Perikanan” di Benoa, Bali. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya memperbaiki tata kelola perekrutan tenaga kerja perikanan di Indonesia, khususnya dalam menjamin perlindungan bagi AKP domestik. Momentum ini menjadi sangat relevan menyusul terjadinya kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Bali beberapa bulan lalu, yang melibatkan oknum perekrut tidak bertanggung jawab. Dalam kasus tersebut, sebanyak 21 AKP diduga menjadi korban eksploitasi setelah dijanjikan pekerjaan dengan iming-iming gaji besar, namun kenyataannya mereka dipaksa bekerja dalam kondisi tidak layak dan tanpa perlindungan hukum.
Pertemuan ini dihadiri oleh Mijil Ritno Sujiwo, Ketua Tim Kerja Pengawakan Kapal Perikanan, Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Anna Kurnianingsih, Koordinator Pembinaan Kelembagaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan. Berbagai pemangku kepentingan lain juga turut hadir dalam kegiatan ini yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Anggota Forum Daerah Perlindungan Pekerja Perikanan dan Nelayan (Forda P3N Bali), dan agen perekrutan yang ada di Bali.
Imam Trihatmadja, Direktur Program DFW Indonesia, menekankan pentingnya tata kelola perekrutan yang bertanggung jawab. Menurutnya, rekrutmen merupakan elemen utama di bidang perikanan tangkap karena membutuhkan keterampilan khusus untuk meminimalisir risiko kecelakaan kerja dalam kondisi kerja yang cukup berat. “Tata kelola keagenan perekrut swasta perlu menjadi perhatian agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari,” ujarnya.
Dalam kegiatan ini, Mijil menyampaikan bahwa di Direktorat Kapal Perikanan & Alat Penangkapan Ikan sendiri telah menerapkan empat pilar konvensi tata kelola AKP, antara lain: CTA 2012, STCW F 1995 yang telah diratifikasi dalam Peraturan Presiden No. 18 tahun 2019, ILO C-188, dan PSMA yang telah diratifikasi dalam Peraturan Presiden No. 43 tahun 2016. “Untuk CTA 2012 dan ILO C-188 memang hingga hari ini belum di ratifikasi di Indonesia, namun secara praktiknya, kami sudah mulai mengadopsi beberapa ketentuan yang ada di dalam konvensi tersebut sebagai bentuk komitmen kami dalam meningkatkan perlindungan untuk AKP Indonesia,” terangnya.
Proses perekrutan AKP saat ini masih melalui agen perekrut yang tidak berbadan hukum, perseorangan, lowongannya tidak memiliki informasi yang jelas, dan disebarkan lewat media sosial. Kementerian Kelautan Perikanan sangat mendorong adanya reformasi agen perekrutan menjadi sebuah lembaga perekrutan yang berbadan hukum dan bebas dari biaya perekrutan apapun. Perekrutan yang resmi dan legal juga akan menjadi salah satu faktor yang mendukung untuk adanya pelindungan dan pemenuhan hak untuk pekerja.
Untuk memastikan proses perekrutan berjalan legal dan resmi, agen perekrutan perlu memahami mekanisme permohonan kelembagaan bagi agen penempatan pekerja perikanan. Anna memaparkan bahwa untuk individu yang ingin membentuk lembaga penempatan tenaga kerja swasta, dapat mengikuti persyaratan di Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 78101. “Kelompok ini mencakup kegiatan pendaftaran, penyeleksian, dan penempatan tenaga kerja di dalam negeri di berbagai bidang usaha yang dilakukan atas dasar perjanjian kerja, mekanisme antar kerja lokal, dan antar kerja antar daerah oleh Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta,” kata Anna.
Sementara itu, Dwi Agus Siswa Putra, Sekjen Kesatuan Pelaut dan Pekerja Perikanan Indonesia (KP3I) mengatakan bahwa pelaku usaha harus berbenah diri dan berkolaborasi dengan pemerintah serta pekerja perikanan agar tidak lagi terjadi kasus-kasus yang memberikan dampak buruk terhadap industri perikanan di Benoa.
“Sebetulnya pelaku usaha perikanan di Bali sudah menjalankan perekrutan yang baik, hanya saja mungkin sistem manajemen high level untuk melakukan monitoring ke pekerja langsung di lapangan yang masih kurang, semoga dengan adanya kegiatan ini level manajemen dapat langsung turun ke lapangan untuk memonitor proses perekrutan pekerja,” tegas Dwi.
DFW Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus mendorong pembenahan sistem perekrutan tenaga kerja perikanan yang adil, aman, dan berkelanjutan melalui sinergi antar pemangku kepentingan. Inisiasi kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi rencana aksi Forum Daerah Perlindungan Pekerja Perikanan dan Nelayan Bali yang menjadi titik awal konsolidasi dan transformasi tata kelola perekrutan tenaga kerja di sektor perikanan Indonesia.



