Jakarta, 3 Desember 2025 — Sebagai salah satu bentuk upaya perlindungan pekerja perikanan, DFW Indonesia telah melaksanakan riset terkait kondisi pekerja pengolahan tuna di Jakarta, Bali, dan Sulawesi Utara sejak Mei 2025. Menindaklanjuti dari diskusi riset ini pada September lalu, DFW Indonesia menyelenggarakan kegiatan diseminasi untuk “Laporan Quick Assessment: Kondisi Pekerja Pengolah Tuna di Benoa, Bitung, dan Jakarta”. Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang & Tempo dengan mengundang peserta dari berbagai kalangan yang dipandu oleh Siti Wahyatun, Public Lawyer Interest DFW Indonesia. Untuk membuka kegiatan, Imam Trihatmadja, Direktur Program DFW Indonesia menyampaikan bahwa diseminasi riset ini merupakan dilakukan sebagai salah satu cara untuk bisa memberikan gambaran bagaimana pekerja pengolah makanan laut bekerja di Indonesia. “Dalam lima bulan berproses, banyak temuan bagaimana kondisi pekerja pengolah makanan laut yang kami ungkapkan dalam riset cepat ini,” ujarnya.
Sesi ini dibuka Nabila Tauhida, Human Rights Officer DFW Indonesia yang memaparkan bahwa hasil riset yang dilakukan menunjukkan bahwa industri ini beroperasi dalam rezim ketenagakerjaan fleksibel yang ditandai kontrak tidak pasti (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu [PKWT] berulang dan skema pekerja borongan), upah rendah, jam kerja panjang, serta minim perlindungan sosial.
“Dalam proses pelaksanaan riset ini kemarin, kami bahkan menemukan situasi bahwa banyak pekerja yang harus bekerja dengan suhu -45 derajat, mereka masuk ke dalam ruangan tersebut, tanpa adanya Alat Pelindung Diri (APD) yang layak untuk bisa melindungi mereka,” ujarnya.
Terlebih, disposabilitas pekerja dalam industri ini cukup tinggi. Hal ini terlihat dalam banyaknya proses perekrutan dalam model walk-in-interview yang bisa melakukan wawancara pekerja hingga 10-15 orang setiap harinya. Nabila juga menambahkan bahwa disisi lain, temuan ini merupakan pembuka bahwa hingga hari ini bukan hanya awak kapal perikanan (AKP) yang belum bekerja dengan layak namun juga mereka yang bekerja di pabrik pengolahan ikan.
Sejalan dengan paparan Nabila, Luthfian Haekal selaku Human Rights Manager DFW Indonesia menyampaikan bahwa dalam riset ini kami temukan bahwa disposabilitas ini juga didukung oleh adanya turnover yang cukup tinggi. Dalam prosesnya, bahkan ada perwakilan bagian sumber daya manusia sebuah perusahaan yang menyampaikan bahwa komitmen kerja bagi generasi muda yang mereka rekrut cenderung lebih minim dibandingkan generasi sebelum mereka. Situasi hari ini terjadi tidak dalam semalam, namun didukung oleh adanya kebijakan masa pemerintahan Soeharto yang ditekan pada masa krisis ekonomi.
“Di tahun 1997 – 1998, salah satu hal yang disyaratkan oleh IMF untuk program reformasi ekonomi adalah penekanan bahwa upah buruh harus selalu murah. Ini kemudian secara tidak langsung berdampak pada bagaimana industri dan regulasi membentuk peraturan ketenagakerjaan salah satunya dengan membuat kontrak kerja jangka pendek,” tutupnya.
Dari pemaparan tersebut, Sukur Priyatno dari Direktorat Jenderal Bina Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, Kementerian Ketenagakerjaan menanggapi riset ini bahwa hasil temuan khususnya terkait tenaga kerja merupakan kerentanan yang terlembagakan.
“Kami menghargai sebagai informasi awal gambaran potensi kondisi kerja di pengolahan tuna yang ada di Indonesia.” tutupnya.
Adapun dari sisi industri, Abrizal Andrew Ang selaku Ketua Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) menjelaskan bahwa kondisi perikanan sangat fluktuatif karena ada banyak isu, salah satunya isu radioaktif yang kemarin menimpa hasil udang dari Indonesia. Singkatnya, dari sisi industri kami telah melakukan banyak progress dalam pengaturan tenaga kerja kita.
“Kami sudah melakukan banyak kemajuan seperti pengaturan tenaga kerja kita seperti sistem kontrak. Dalam konteks industri, etos kerjanya berbeda, jadi tidak bisa kalau disamakan semuanya,” ujarnya. Menurutnya, area Bitung dan Manado terus menambah pekerja paling tidak 10-20% dengan berbagai jenis kontrak mulai dari pekerja harian, PKWT, dan lainnya untuk merespons kebutuhan pesanan buyer ekspor.
Dari sisi serikat buruh, Jumisih selaku Biro Politik Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia menyampaikan bahwa banyak situasi kerja yang terjadi hari ini didukung oleh rantai pasok global. Hal ini terlihat pada bagaimana proses perekrutan, ritme produksi, bahkan pemenuhan sertifikasi global yang dibuat sehingga aspek kemanusiaan buruh pengolah makanan laut tidak lagi menjadi prioritas untuk bisa dimanusiakan seutuhnya.
“Dari sisi proses perekrutan, kita bisa lihat bahwa marak sekali perekrutan dengan bentuk kontrak jangka pendek dan skema labour on demand. Ini kemudian mempengaruhi bagaimana tubuh pekerja dibuat sesuai dengan ritme ekspor yang menyebabkan banyak kesehatan pekerja yang dikorbankan,” ujarnya.
Jumisih melanjutkan bahwa perempuan dalam industri pengolahan berperan ganda. Pada satu sisi bekerja di industri pengolahan, namun di sisi lain industri bergantung pada pekerja perempuan di dalam reproduksi keluarga tanpa biaya perusahaan. Misalnya, urusan masak, anak, dan kesehatan.
Dari riset ini, DFW Indonesia merekomendasikan beberapa hal antara lain: melakukan penyusunan standar ketenagakerjaan sektoral perikanan, mewajibkan uji tuntas HAM sebagai syarat ekspor, dan melakukan audit PKWT tahunan berbasis risiko untuk menghindari pelanggaran batas kontrak dan mencegah ketidakpastian pekerja. Tentunya, rekomendasi ini tidak bisa berjalan tanpa adanya kolaborasi multi pihak dari pemerintah, kementerian dan lembaga terkait, asosiasi pengusaha, serta kelompok masyarakat. Sehingga, DFW Indonesia berharap bahwa riset ini bisa menjadi salah satu pembuka mata bagi banyak pihak mengenai realita pekerja pengolahan makanan laut di Indonesia.
Hasil riset selengkapnya bisa diakses via: bit.ly/quick-assesment-pekerja-pengolah-tuna



