Pada Selasa, 26 September 2023, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres No. tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Stranas BHAM). Stranas BHAM, harapannya menjadi acuan tentang kewajiban negara untuk melindungi HAM, tanggungjawab pelaku usaha, serta hak korban pelanggaran HAM untuk mendapat akses atas pemulihan yang “efektif, sah, dapat diakses, beri kepastian, adil, transaran, dan akuntabilitas, baik melalui mekanisme yudisial dan non-yudisial.”
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonsia, Moh Abdi Suhufan mengatakan bahwa inisiasi pemerintah dalam mengeluarkan Stranas BHAM perlu mendapatkan apresiasi karena dapat menjadi rujukan tentang tanggung jawab perusahaan, pemerintah, dan hak-hak dari pekerja yang dieksploitasi oleh pengusaha. “Ironisnya, Stranas BHAM dikeluarkan tidak lama setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan cacat formil atas UU Cipta Kerja dan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia di tengah proyek strategis nasional” kata Abdi
Namun, Stranas BHAM tidak dapat menjadi solusi satu-satunya dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi atau menjadi label dalam menentukan siapa perusahaan yang ‘bersih’. “Bisnis dan HAM perlu dipandang sebagai tanggung jawab perusahan untuk mengorbankan sebagian dari keuntungan untuk meningkatkan standar-standar perlindungan pekerjanya dan lingkungan tempat sebuah perusahaan beroperasi” kata Abdi. Selain itu, Stranas BHAM tidak akan terlaksana apabila pemerintah terus melanjutkan kebijakan pro-pembangunan dan melanggengkan impunitas bagi pelaku usaha.
Peneliti DFW Indonesia Miftahul Choir mengatakan Stranas BHAM tetap perlu dicermati secara kritis agar dapat diimplementasikan dengan baik. “DFW melihat Stranas BHAM belum mencakup konteks industri kelautan dan perikanan” ujar Miftah.
Mencermati hal tersebut , Destructive Fishing Watch (DFW Indonesia) mencatat terdapat tiga hal yang perlu dikritisi dari Stranas BHAM, khususnya dari sektor kelautan:
Bias Perspektif Darat.
Dalam lampiran Stranas BHAM, tertulis bahwa dasar penyusunan berdasarkan kajian baseline dalam tiga sektor yaitu perkebunan, pertambangan dan pariwisata; industri perikanan tangkap yang juga dipenuhi pelanggaran HAM hingga potensi kerja paksa justru tidak terwakilkan dalam kajian tersebut.
Padahal, industri perikanan memiliki keunikan tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan industri darat. Pengawasan sulit dilakukan terhadap kapal-kapal perikanan yang melakukan operasi penangkapan ikan di laut Indonesia selama berbulan-bulan. Akibatnya, tidak ada yang mengetahui secara jelas bagaimana kondisi awak kapal perikanan (AKP) dan bagaimana memperlakukan pekerja-pekerjanya. Dalam kata lain, pengusaha dapat lebih leluasa melakukan pelanggaran terhadap hak asasi pekerjanya.
Berbeda dengan pekerja daratan yang memiliki kontrak tetap dan gaji bulanan, AKP memiliki kontrak yang tidak pasti, berjangka pendek, dan sistem gaji bagi hasil. Artinya, upah yang diterima oleh AKP bergantung pada berapa banyak tangkapan yang dihasilkan dari sekali tangkapan, bukan berdasarkan upah minimum regional. Bekerja selama 9-5 juga tidak berlaku bagi pekerja perikanan yang harus bekerja selama belasan jam dan tanpa istirahat untuk mempersiapkan dan melempar jaring, menempatkan ikan, hingga membersihkan jaring.
Jika pekerja daratan mendapat lowongan pekerjaan dari kanal-kanal pencari kerja serta berbagai persyaratan, perekrutan AKP dipenuhi oleh penipuan dan intimidasi calo. Alih-alih membekali AKP dengan kontrak dan kompetensi, calo justru membebani AKP dengan hutang.
Akibat kontrak berjangka pendek, jam kerja yang panjang, keterbatasan finansial dan logistik, AKP sulit untuk berserikat dan bersolidaritas seperti pekerja daratan. Padahal, pekerja yang berserikat adalah syarat terpenting dalam implementasi Stranas BHAM.
Mengikuti Jejak HAM Perikanan?
Jauh sebelum Stranas HAM, Pemerintah telah memiliki sertifikasi HAM Perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35 tahun 2015. Namun, hingga saat ini KKP belum menerbitkan sertifikat HAM bagi industri perikanan tangkapan dan pelanggaran HAM terus terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah Stranas BHAM dapat memberikan perbedaan terhadap implementasi sertifikat HAM Perikanan.
“Pelaku usaha masih enggan untuk mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan sertifikat HAM” kata Abdi. Di satu sisi, pemerintah juga belum memberikan penghargaan kepada pengusaha untuk melakukan penilaian HAM pada perusahaan. Padahal, kepemilikan sertifikat HAM dapat menjadi nilai jual bagi pelaku usaha dan mendorong industri perikanan tangkap Indonesia yang tertinggal dari negara tetangga.
Dibandingkan sertifikat HAM perikanan, pelaku usaha lebih tertarik menggunakan Sertifikat Keahlian Awak Kapal Perikanan dan Sertifikat Kelaikan Kapal Perikanan yang tertuang pada PP No. 27 tahun 2021, turunan UU Cipta Kerja. Kedua sertifikat tersebut hanya mengatur keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan AKP, bukan tanggungjawab perusahaan dalam melindungi pekerjanya dan memperbaiki cara perusahaan melakukan bisnis.
Pengawasan
Untuk saat ini, Stranas BHAM memang hanya akan berdurasi selama tiga tahun dan berfokus pada pengembangan kapasitas, penyadartahuan, evaluasi atas regulasi, dan perumusan peraturan teknis.
Nantinya, pemerintah harus menjamin peraturan teknis mengatur mekanisme pengawasan, pihak yang bertanggungjawab dan berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Stranas BHAM, serta pihak yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi. Hal tersebut penting untuk memaksa pelaku usaha untuk mematuhi Stranas BHAM dan pemerintah dapat menagih tanggung jawab pelaku usaha.
Berdasarkan hal tersebut diatas, DFW Indonesia menemukan bias perspektif darat menjadi isu utama dalam Stranas BHAM dan akan berimplikasi pada aspek-aspek lainnya mulai dari pelindungan pekerja hingga mekanisme pengawasan.
Untuk itu, DFW Indonesia menuntut pemerintah untuk : i) Memastikan Peraturan Menteri, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Hukum dan HAM memuat perspektif industri perikanan tangkap, ii) Menjamin akan adanya pengawasan dan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar hak asasi manusia, dan iii) Memastikan pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang jelas antara kementerian dan satuan tugas BHAM.
Baca juga : Rentetan Pelanggaran Hak Awak Kapal Perikanan di Pelabuhan Muara Baru
Baca Juga : Jokowi Teken Perpres Stranas BHAM, Dirjen HAM: Ciptakan Iklim Bisnis Berkelanjutan