Sebagai upaya mewujudkan sistem perlindungan sosial yang adil dan inklusif, DFW Indonesia menggelar webinar nasional bertajuk “Suara Laut, Suara Kehidupan: Mewujudkan Perlindungan Sosial yang Inklusif” pada Rabu (23/07). Kegiatan webinar “Suara Laut, Suara Kehidupan” diselenggarakan dalam rangkaian Program Protecting Rural & Ocean-dependent Societies through Participatory Economic Resilience (PROSPER), yang difokuskan pada wilayah pesisir dan masyarakat yang menggantungkan kehidupannya pada sumber daya laut. Webinar “Suara Laut, Suara Kehidupan” turut menghadirkan pembicara dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Sosial Kabupaten Pekalongan, dan Lembaga Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) “Kibar” Tamanmartani, serta diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai pihak, baik dari pemerintahan, mahasiswa, hingga masyarakat pesisir. Diskusi tersebut menjadi momentum penting untuk memperkuat kolaborasi antara pembuat kebijakan, pelaksana di daerah, serta masyarakat pesisir dalam menjamin perlindungan sosial.
Mahrus, Direktur Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan KKP, menyoroti pentingnya perlindungan menyeluruh bagi nelayan sebagai kelompok kerja paling rentan terhadap risiko alam, iklim, dan ekonomi. Ia menjelaskan bahwa KKP telah mengembangkan enam pilar utama perlindungan nelayan, termasuk pendataan berbasis nama dan alamat, fasilitasi koperasi, pembangunan kampung nelayan, serta program asuransi nelayan. Menurutnya, negara harus memastikan bahwa nelayan tidak hanya dilihat sebagai objek bantuan, melainkan sebagai subjek pembangunan ekonomi biru yang berdaya. “Program bisa berubah, kebijakan bisa menyesuaikan, tapi komitmen untuk melindungi nelayan tidak boleh mundur. Kolaborasi adalah kata kuncinya,” tegas Mahrus.
Muhlisinalahuddin selaku petugas pengelola data Perlindungan dan Jaminan Sosial (LINJAMSOS) dari Dinas Sosial Kabupaten Pekalongan, menjelaskan bahwa sistem bantuan sosial di tingkat daerah kini sangat bergantung pada data desil yang dihasilkan dari pemadanan data nasional. Menurutnya, masyarakat penerima manfaat sering kali mengalami kebingungan ketika bantuan dihentikan tanpa penjelasan yang mudah dimengerti. Padahal, status desil ditentukan melalui sistem yang dikelola oleh Badan Pusat Statistika (BPS) dan Kementerian/Lembaga terkait, bukan oleh Dinas Sosial daerah. “Mari kita jadikan perlindungan sosial bukan hanya alat bantu, tetapi jembatan menuju kemandirian. Tidak ada warga yang ingin tergantung selamanya,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Puskesos “Kibar” dari Tamanmartani, Yogyakarta, Siti Maemunah, berbagi praktik baik mengenai pengelolaan pengaduan sosial berbasis komunitas. Ia menjelaskan bahwa Puskesos bukan hanya menjadi tempat laporan, tetapi juga lembaga yang aktif melakukan pendampingan, rujukan, hingga advokasi untuk kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, dan anak putus sekolah. Kunci keberhasilan lembaga Puskesos adalah kedekatannya dengan warga dan kemampuannya dalam menjalin jaringan dengan berbagai pihak. “Kita tidak harus selalu menunggu program datang dari atas. Kalau kita bisa mulai dari desa, dari rumah-rumah warga, perlindungan sosial itu bisa hidup,” terangnya.
Diskusi menjadi lebih reflektif ketika beberapa warga desa yang turut menyimak diskusi pada webinar “Suara Laut, Suara Kehidupan” menyampaikan keresahannya mengenai proses “graduasi” (upaya pelepasan diri penerima bantuan dan program-program bantuan sosial hingga menjadi mandiri secara ekonomi). Ia mempertanyakan tentang komitmen dan upaya graduasi yang dijalankan sejauh ini oleh pemerintah Kabupaten Pekalongan di tingkat masyarakat penerima bantuan. Hal tersebut berkaitan dengan upaya mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hadirnya bantuan sosial.
Pertanyaan terkait ‘graduasi’ kemudian membuka ruang diskusi penting tentang perlunya edukasi publik yang intensif dan pendekatan transisi yang lebih manusiawi. Siti Maimunah, merespons pertanyaan terkait ‘graduasi’ dengan menjelaskan tentang bagaimana pentingnya menempatkan bantuan sosial berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. “Pihak-pihak yang berkaitan dengan bantuan sosial perlu melihat lebih dalam pada tingkatan kemampuan individu penerima bantuan sosial dan aspek-aspek yang dapat mendukung kemampuan individu tersebut dalam menjalankan aktivitas maupun ekonominya secara mandiri, seperti pemberian mesin jahit bagi ibu-ibu penerima bansos, alat bantu aktivitas seperti kursi roda kepada disabilitas, dan sebagainya”, ujarnya.
Baca Juga: Ekonomi Biaya Tinggi Bebani Nelayan Kecil
Sebagai hasil diskusi, webinar “Suara Laut, Suara Kehidupan” menghasilkan lima rekomendasi strategis. Pertama, pentingnya replikasi kelembagaan Puskesos di desa-desa pesisir sebagai simpul layanan sosial yang responsif. Kedua, perlunya sosialisasi sistem desil dan proses graduasi secara intensif dan partisipatif di tingkat desa dan kecamatan. Ketiga, validasi dan pemutakhiran data sosial harus dilakukan dengan melibatkan komunitas lokal agar hasilnya lebih akurat dan adil. Keempat, dibutuhkan sinergi antara kementerian, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperluas cakupan perlindungan. Terakhir, pemberdayaan ekonomi harus menjadi pilar utama dalam proses transisi kemandirian warga.
Saksikan tayangan ulang webinarnya disini: Webinar PROSPER “Suara Laut, Suara Kehidupan: Mewujudkan Perlindungan Sosial yang Inklusif”