Per 2017 hingga 2023, pertumbuhan angka ekspor ikan tilapia atau ikan nila meningkat sebanyak 7%. Saat ini produksi ikan tilapia global mencapai 6,5 juta ton dan Indonesia menempati negara produsen terbesar kedua dengan kontribusi produksi sebesar 1,38 juta ton, atau 21% dari total produksi global setelah China. Walaupun menjadi produsen kedua, tapi Indonesia hanya menempati posisi ke-4 eksportir tilapia dunia di bawah China.
Untuk menunjang peningkatan produksi Tilapia, Indonesia telah membuat modeling kawasan tambak Budidaya Ikan Nila Salin (BINS) di Karawang, Jawa Barat dengan jumlah investasi mencapai 76 miliar rupiah. Investasi tersebut akan digunakan untuk revitalisasi tambak-tambak udang idle di wilayah Pantura untuk pengembangan budidaya nila salin yang turut memiliki berbagai persoalan dalam prosesnya.
Pada Rabu, 20 November 2024, DFW Indonesia telah menyelenggarakan webinar dengan tajuk Prospek dan Dampak Revitalisasi 78.000 Ha Tambak Pantura. Webinar ini turut mengundang berbagai praktisi, antara lain: Irma MH, selaku Plt Direktur Air Payau, Ditjen Perikanan Budidaya, Dr. Apriana Vinasyam, S.Pi, M.Si selaku Ahli Teknologi Budidaya Perairan IPB, Dede Hermawan, S.Pi., M.Si, Kepala Bidang Pembudidayaan Ikan, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, serta Dr. Suhana selaku Ahli Sosial Ekonomi Perikanan dari Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta. Diskusi ini dipantik dengan pemaparan dari M. Zulficar Mochtar, CEO Ocean Solution Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa inisiatif ini bukan sebuah hal mudah. Untuk mewujudkannya, butuh keseriusan, perencanaan yang matang, kesiapan kriteria yang optimal, strategi value chain, dll.
“Food aquatic sangat potensial, namun banyak tantangan yang dihadapi. Revitalisasi tambak untuk meningkatkan produktivitas, perlu dibarengi dengan kesiapan yang matang dari berbagai sisi. Agar dapat menjadi kisah sukses. Jika tidak, bisa jadi bisa jadi kisah gagal baru bagi pemerintah.” ujarnya untuk memantik diskusi dalam webinar ini.
Irma MH, selaku Plt Direktur Air Payau, Ditjen Perikanan Budidaya turut memaparkan bahwa dari Asta Cita yang dirancang oleh Prabowo-Gibran, peningkatan ekonomi biru masuk kedalam 1 dari 8 misi tersebut. Untuk menunjang terwujudnya misi tersebut, Ditjen Perikanan Budidaya sendiri telah merancang berbagai strategi yang dapat menunjang tercapainya hal tersebut, salah satunya adalah dengan melakukan revitalisasi budidaya yang ada saat ini dari udang ke ikan nila salin.
“Tambak udang yang dikembangkan kemarin memiliki produktivitas yang rendah, tidak memiliki IPAL, dan bersifat idle. Harapannya, revitalisasi ini bisa membantu terwujudnya swasembada pangan.”
Jawa Barat sebagai salah satu provinsi yang difokuskan dalam revitalisasi ini juga telah melakukan uji coba dengan jenis Ikan Nila Nirwana IV. Ikan ini telah melalui proses rekayasa genetik sehingga bisa hidup tidak hanya di air tawar tetapi juga air payau.
“Sejak tahun 2007, kami telah melakukan rekayasa genetik untuk Ikan Nila Nirwana IV. Kami berinovasi dengan mengembangkan ikan ini menggunakan metode family dan introgresi. Ikan yang telah kami kembangkan telah menjalan tes yang menunjukkan bahwa Ikan Nila Nirwana IV mampu bertahan terhadap perubahan parameter kualitas air khususnya salinitas hingga 20ppt.” ujar Dede Hermawan, S.Pi., M.Si, Kepala Bidang Pembudidayaan Ikan, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat.
Melihat rencana dan potensi ini, ada banyak aspek yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, seperti kebutuhan pakan dan kincir untuk supply oksigen. Dr. Apriana Vinasyam, S.Pi., M.Si, Ahli Teknologi Budidaya Perairan IPB menyampaikan bahwa meningkatnya jumlah produksi juga akan berdampak pada jumlah limbah yang akan dihasilkan.
“Transformasi tambak idle menjadi super intensif dari produksi 0.6 ton/ha/tahun menjadi 80 ton/ha/tahun memerlukan perhatian serius pada dampak lingkungan yang akan terjadi, utamanya pencemaran/ limbah.” ujarnya.
Produksi yang akan meningkat kedepannya tentu juga perlu memperhatikan serapan dari pasar itu sendiri. Secara data, ikan nila banyak diminati oleh pasar di luar Indonesia. Pasar domestik sendiri per 2023, masih kurang minat dalam membeli ikan nila untuk dikonsumsi sehari-hari. Padahal, pasar dalam negeri kita juga berpotensi untuk bisa berkontribusi dalam menyerap jumlah produksi ikan nila kedepannya.
“Pengeluaran masyarakat per kapita untuk ikan nila per minggu hanya Rp3.302 atau kurang dari satu kilogram, itupun tertinggi ada di Kalimantan Tengah. Untuk itu, butuh dukungan pemerintah untuk meningkatkan sebaran ikan nila hasil produksi kedepannya.” ujar Dr. Suhana, Ahli Sosial dan Ekonomi Perikanan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta.
Baca juga: Tantangan Implementasi Akuakultur Dengan Pendekatan Ekosistim