Jakarta, 7 Agustus 2025 – Memperingati Hari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sedunia yang jatuh tiap tanggal 30 Juli, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengadakan web seminar (webinar) berjudul “Tak Terlihat di Darat, Tereksploitasi di Laut”. Webinar tersebut bertujuan untuk membuka ruang diskusi berkaitan dengan dinamika perdagangan manusia di sektor perikanan, utamanya domestik. Tidak hanya membuka ruang diskusi, DFW juga mengadakan webinar tersebut untuk mendorong kolaborasi lintas sektor dalam upaya pencegahan dan penanganan TPPO. Webinar peringatan hari TPPO turut mengundang Anis Hidayah, Komnas HAM, Firman Efendi, mantan Awak Kapal Perikanan (AKP), Ayu Sulistyowati, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, dan Siti Wahyatun, pengacara publik DFW.
Anis Hidayah selaku Komisioner Komnas HAM menuturkan terdapat empat (4) tugas pokok negara untuk memenuhi perlindungan HAM bagi warga negaranya yang tercantum dalam general comment Nomor 38. Berdasar dokumen tersebut, negara diwajibkan untuk melaksanakan perlindungan mulai dari identifikasi korban, pendampingan dan perlindungan korban, akses keadilan bagi korban, dan pemulihan. Anis menganggap selama ini negara masih pada poin nomor satu dan dua, sementara poin nomor tiga dan empat masih menjadi tantangan dalam penanganan kasus TPPO. “Dalam sistem peradilan di Indonesia, kasus-kasus TPPO yang dijerat masih pelaku lapangan atau recruiter. Korporasi atau keterlibatan aktor-aktor negara belum belum maksimal,” terang Anis.
Berkenaan dengan TPPO yang terjadi di domestik, Firman Efendi selaku mantan AKP menceritakan pengalamannya berlaut meski usianya waktu itu masih tergolong di bawah umur melalui mekanisme rekrutmen calo. Meski di bawah umur, Efendi mengaku jika Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) dibuatkan dengan data palsu oleh calo untuk kebutuhan melaut. Ia tertarik dengan iming-iming gaji lima juta rupiah per bulan yang ditawarkan oleh calo melalui platform media sosial Facebook. Setelah tinggal di mess yang disediakan oleh calo, Efendi tidak mengetahui kapal tempatnya bekerja dan durasi melaut. Waktu pertama melaut melalui calo, Efendi berlayar selama 14 bulan dan iming-iming gaji lima juta rupiah, namun ia hanya menerima sebesar lima ratus ribu rupiah per bulan. “Ketika air minum habis, saya pernah meminum air tetesan yang berasal dari AC. Saya juga pernah makan garam yang berasal dari karat besi di sekitar kapal untuk laut karena perbekalan sudah habis,” ujarnya.
Menurut Ayu Sulistyowati, Ketua Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, pekerja di bawah umur sama seperti yang terjadi dengan Efendi juga menjadi salah satu modus TPPO domestik. Ayu mengungkapkan eksploitasi pekerja di bawah umur di sektor perikanan menggunakan mekanisme Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang berasalkan dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dalam modus PKL, pihak sekolah bekerja sama dengan calo untuk menyalurkan siswanya ke kapal-kapal. “Terdapat indikasi pembiaran melalui kedok ‘siswa harus menyadari jika ini vokasi. Jadi SMK kelautan harus PKL di laut’,” tutur Ayu.
Menanggapi pemaparan dari ketiga narasumber tersebut, Siti Wahyatun selaku Pengacara Publik DFW Indonesia menyatakan praktik eksploitasi yang terjadi di sektor perikanan merupakan eksploitasi struktural dan sistemik. Selama tahun 2024, DFW Indonesia melalui National Fishers Center (NFC) Indonesia telah menerima sekitar 28 kasus dan tiga diantaranya terindikasi dugaan TPPO. Dugaan TPPO tersebut disematkan karena proses perekrutan yang terjadi. Setelah korban diiming-imingi gaji besar, korban akan dijemput oleh calo dengan menggunakan mobil atau transportasi laut untuk tinggal di mess. Ketika tinggal di mess, calon AKP tidak mengetahui kapal apa yang ia naiki dan berapa lama ia akan berlayar. Setelah AKP berangkat melaut, mereka akan bekerja di dalam kondisi eksploitatif seperti jam kerja seharian di kapal, tidak mengetahui istirahat, dan tidak memiliki bahan makanan yang cukup. Bahkan, AKP tidak memiliki kontrak yang jelas ketika berlayar.
Siti juga menggarisbawahi kompleksitas aktor yang terlibat didalam kasus dugaan TPPO domestik. Menurut Siti, terdapat empat aktor utama yang berkelindan, yaitu pemilik kapal, calo, nahkoda/kapten kapal, dan oknum aparat keamanan. Calo memiliki kuasa untuk merekrut calon AKP untuk berlayar, sementara kapten kapal memiliki kuasa di atas kapal dan menerima calon AKP yang berasal dari calo. Sementara, dalam beberapa kasus yang ditangani oleh DFW, oknum aparat keamanan pernah mendatangi korban untuk melakukan intimidasi. Oleh karenanya, menurut Siti, diperlukan pendekatan multi-cabang yang melibatkan peraturan pemerintah, akuntabilitas industri, dan pemberdayaan pekerja. “Untuk pemerintah, kami mendorong penerapan tata kelola perikanan dan pengawasan produksi penangkapan terpadu. Sementara, bagi pelaku usaha, menjalankan operasi produksi yang aman dan sejahtera bagi AKP,” tutup Siti.