Eksploitasi Sistemik Pekerja di Sektor Perikanan Indonesia

National Fishers Center Indonesia (NFC-I) di tahun 2025 meluncurkan Laporan National Fishers Center Indonesia: Eksploitasi Buruh Awak Kapal Perikanan. Selama lima tahun terakhir, National Fishers Center Indonesia (NFC-I) secara konsisten menerima sejumlah besar pengaduan dengan tren dan pola kasus yang memiliki kesamaaan, yang menunjukkan bahwa masalah yang mendasarinya belum ditangani dengan baik dan tepat.

Di tahun 2024, NFC-I menerima aduan sebanyak 28 kasus dengan jumlah 67 korban. Dari aduan tersebut, mayoritas didominasi aduan dalam negeri berjumlah 25 kasus dan luar negeri dengan jumlah 3 kasus. Jumlah aduan ini menunjukkan adanya peningkatan terkait pelanggaran hak normatif pada tahun 2024 dibanding 2023. Mayoritas AKP yang menjadi korban adalah AKP pemula dengan pengalaman melaut yang minim, bahkan tidak memiliki pengalaman sama sekali. Korban AKP yang mengadu ke NFC berasal dari berbagai tempat, namun didominasi oleh mereka yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. 

AKP awalnya kebanyakan bekerja di darat dan melakukan perpindahan pekerjaan ke laut dengan cepat. Mereka tertarik untuk bisa bekerja di laut karena berbagai dorongan seperti minimnya ketersediaan lapangan kerja di darat, upah yang besar ketika bekerja di laut meskipun berisiko tinggi dan tanpa pengalaman, serta ketersediaan lapangan kerja yang terus menerus akibat dari tingginya kebutuhan tenaga kerja di sektor perikanan tangkap. 

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh NFC-I, ada lima pelabuhan yang menjadi titik awal keberangkatan AKP, antara lain: PPP Bajomulyo (Pati, Jawa Tengah), PPP Dobo (Dobo, Sulut), Pelabuhan Perikanan Karangsong (Indramayu, Jawa Barat), PPN Muara Angke (Jakarta Utara, Jakarta), dan Pelabuhan Tanjung Wangi (Banyuwangi, Jawa Timur) adalah lima pelabuhan asal kapal tempat kasus terjadi paling banyak. Selain itu, NFC-I juga menemukan bahwa ada tiga daerah penangkapan ikan yang menjadi titik paling banyak terjadinya kasus pelanggaran, antara lain: Laut Arafura (WPP 718), Laut Jawa (WPP 712), dan Samudera Hindia (LL S. Hindia). 

Adapun aduan yang terima oleh NFC-I didominasi oleh masalah seperti: upah yang tidak dibayarkan atau tidak sesuai dengan perjanjian kerja; kondisi kerja yang tidak manusiawi termasuk bekerja diatas 10 jam, bekerja dalam keadaan sakit, serta mengalami kekerasan verbal dan fisik; kerja tanpa kontrak kerja dan jaminan sosial seminimalnya BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan; perekrutan yang tidak transparan; mengalami eksploitasi kerja tanpa memiliki penanggung jawab yang jelas atas pekerjaannya; lambannya instansi pemerintah dalam merespon masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerja perikanan; bahkan diancam ditelantarkan atau dibunuh setelah melaut. 

Masalah-masalah yang diterima juga turut mengindikasikan bahwa banyak kasus yang masuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Hal ini terlihat dalam 3 unsur TPPO yaitu proses, tujuan, dan cara bagaimana AKP bekerja di kapal perikanan, mulai dari AKP direkrut, pada saat pra-penempatan, ketika penempatan, hingga pasca penempatan bekerja. Banyak kasus yang diterima NFC-I menyebutkan bahwa AKP tertarik untuk bisa bekerja karena diiming-imingi gaji yang besar yang ternyata tidak sesuai dengan hasil yang mereka dapat, dipindahkan berulang kali, penahanan dokumen pribadi, mengalami kekerasan, dll.  

Laporan tahunan NFC-I lagi-lagi memberikan gambaran suram tentang kondisi kerja AKP di industri perikanan Indonesia, yang ditandai dengan eksploitasi sistemik dan pelanggaran hak asasi manusia. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan multi-cabang yang melibatkan peraturan pemerintah, akuntabilitas industri, dan pemberdayaan pekerja.  Oleh karenanya, NFC-I menuntut:

Kepada pemerintah,

  • Mengevaluasi dan menetapkan sistem pengupahan dan rekrutmen yang terbuka dan berkeadilan bagi buruh AKP;
  • Melindungi buruh AKP dengan jaminan sosial holistik; dan
  • Menerapkan tata kelola perikanan dan pengawasan dan pengawasan produksi penangkapan ikan yang terpadu.

Kepada pelaku usaha,

  • Menuntut pemilik kapal dan kapten menjalankan operasi produksi yang aman dan sejahtera bagi AKP, menghentikan rekrutmen melalui calo, pemotongan upah, serta menyediakan infrastruktur K3 yang memadai;
  • Meminta pemerintah dan pelaku usaha memfasilitasi pelatihan untuk AKP guna mendukung produksi perikanan tangkap yang aman dan berkualitas; dan
  • Menyediakan akomodasi pra-berangkat serta konsumsi bergizi untuk AKP.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mari tetap terhubung dengan kami

Kamu Tertarik Dengan kagiatan Kami?

Dukung kami untuk bisa terus berdampak melalui merchandise berikut: