JAKARTA – Sejak terkuaknya praktik perdagangan manusia di Benjina beberapa waktu lalu, telah muncul beragam inisiatif untuk mengadvokasi korban ’Trafficking in Persons (TIP)’ di lautan atau biasa disebut kasus HAM Perikanan.
Meski demikian, praktik perdagangan manusia atau awak kapal ikan terus jadi ancaman bagi kemanusiaan di masa depan. Disebut demikian setelah membaca beberapa kasus seperti diceritakan di bagian berikut ini. Kasus yang tak saja berkaitan keselamatan di laut tetapi juga praktik suram sebelum mereka bekerja di laut.
Memang, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Perhubungan telah mengambil inisiatif untuk mencegah meluasnya persoalan ini dengan menjalin kerjasama lembaga-lembaga sosial dan lingkungan seperti IOM hingga organisasi seperti Yayasan Plan Indonesia.
Organisasi yang mengurusi imigran internasional IOM, telah merilis hasil riset terkait ‘forced labour’ dan ‘trafficking in persons’ di industri perikanan Indonesia dengan bekerjasama KKP bersama Universitas Coventry dan menyarankan perlunya kerja-kerja perlindungan bagi awak kapal ikan bukan semata pada saat di laut tetapi juga sebelum melaut.
Demikian pula Yayasan Plan Indonesia yang saat ini melaksanakan program Safeguarding Against and Adressing Fishers’ Exploitation at Sea atau SAFE Seas di Indonesia dan menjalin kerjasama dengan Organisasi Konservasi Laut, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia serta Pemda Sulut dan Jateng sejak awal pertengahan tahun ini.
Di skema Plan Indonesia dan DFW tersebut, mereka mendorong adanya penguatan kapasitas awak kapal ikan hingga perlunya inspeksi bersama di kapal-kapal ikan.
Membaca peta kasus
Penulis mengikuti cerita korban seperti yang dialami Lukas Lomban (30), dia aslinya Toraja, lahir dan besar di daerah pegunungan Sulawesi Selatan pedalaman yang ditemukan ada di antara 20 ABK Indonesia pada kapal ikan buronan STS-50, buruan Interpol yang ditangkap di Perairan Pulau Weh, Sabang, Aceh tahun lalu.
Lukas dikirim penyalur tenaga kerja. Ironinya, sebelum berangkat, ABK wajib menandatangani perjanjian kerja laut berbahasa Indonesia dan Inggris namun tak diizinkan membaca seluruh isinya.
Para ABK diminta membayar antara 1-3 juta sebagai biaya administrasi. Rencana lokasi tujuan disamarkan. Awalnya ke Korea namun jadinya ke Rusia.
Para awak kapal ikan itu berangkat sebanyak 3 gelombang. Pertama, tanggal 25 Mei 2017 tujuan Vietnam sebanyak 4 orang, lalu pada tanggal 5 Agustus 2017 tujuan Vietnam sebanyak 10 orang lalu terakhir tanggal 12 Desember 2017 sebanyak 6 orang tujuan Tiongkok.
Mereka dijanji gaji US$ 350 meski gaji dua bulan pertama ditahan. Ada potongan sekitar 500 ribu/bulan. Hingga kemudian, seperti yang terjadi di 4 April 2018, Lukas, sebagaimana kesembilanbelas rekannya harus berurusan otoritas penegak hukum Indonesia setelah kapal bernama lambung STS-50 itu digeruduk TNI-AL.
Lukas mengenal perusahaan penyalur tenaga kerja itu dari temannya yang lebih dulu naik kapal. Orang Toraja juga. Teman tersebut bekerja di kapal Taiwan. Lukas diberi informasi untuk kerja di kapal itu meski dia tak punya sertifikat pelayaran khusus. Dia pun nekad naik kapal dengan berbekal ijazah dari SMA Negeri 1 Makale, Tana Toraja.
“Naiknya di kapal Sea Trader, itu kapal kemarin, yang pertama agak resmi. Bendera Amerika tapi perusahaan Taiwan, saya di bagian ‘sailor’,” ungkapnya.
Selama kurang lebih 10 bulan di atas kapal, bermula dari Jakarta ke Vietnam. “Selama 10 bulan, saya ke Cina, lalu Korea, ke Rusia, bikin jaring dan dan belum pernah operasi,” katanya sembari menyungging senyum.
Selain Lukas, terdapat beberapa nama lainnya sebagai ABK di antaranya Mashuri, dari tiga gelombang pemberangkatan itu, dia ada di kelompok terakhir di bulan Desember 2017. Awalnya mereka mengira akan berangkat mencari ikan di Atlantik. Seperti Lukas, Mashuri juga naik di Tiongkok (Beijing) sebelum berangkat ke Rusia.
Cerita Lukas dan Mashuri amat mendebarkan sebab sebelum mereka ke Atlantik, mereka sempat ke Malaysia untuk mengambil jaring namun mengalami kerusakan mesin di sekitar Pulau Madagaskar. Mereka lego jangkar di sana selama sebulan lebih.
Selain Lukas dan Mashuri ada pula Widayat. Widaya masih terpaut di usia 20 tahun. “Saya nggak tahu kalau STS-50 ini buronan,” kata pemuda asal Cirebon yang menunggu selama tiga bulan sebelum naik kapal ini.
“Yang penting berangkat. Eh, tidak tahunya kapal ilegal,” katanya nyengir.
Cerita dari Slawi
Jarak antara Slawi dan Namibia di Afrika berbilang ribuan kilometer. Tidak pernah terllintas di pikiran Enzo, Roger dan Rico (sebut saja begitu) di kalau akan terbang dan melaut di perairan Benua Afrika tersebut.
Slawi adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang dikenal sebagai penyedia tenaga kerja atau awak kapal ikan di banyak perusahaan ikan, baik domestik maupun mancanegara.
Informasi itu diperoleh setelah penulis bertemu ketiganya di pada suatu siang di di Kota Tegal.
Enzo (20) berasal dari Slawi, Rico (35) pun demikian, berikut Roger. Mereka mantan awak kapal ikan yang beroperasi di Afrika. “Kami baru pulang tanggal 2 Desember 2019 lalu. Saya berasal dari Desa Pagongan RT 4 RW 4 5 Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal,” kata Rico.
Di atas kapal mereka bersama pelaut atau awak kapal ikan asal kabupaten in seperti dari Jawa Barat, dari Kuningan hingga Cirebon. “Nama kapalnya dalam bahasa Brazil, jadi dari Brazil,” sebut Rico.
Rico adalah yang telah beberapa kali naik kapal ikan. Dia sudah naik kapal hingga 10 jenis kapal termasuk kapal ikan asing. Enzo tidak selesai di SMP. Sejak 2008 dia sudah berlayar bersama kapal nelayan di Tegal. “2010 saya sudah naik kapal di Tegal,” katanya.
Roger memulai pengembaraannya di lautan dengan berkelana ke Muara Angke Jakarta sebelum sampai di Perairan Afrika itu. Sementara Rico punya keahlian nautika, dia alumni SUPM Tegal. Dia mengaku sudah berkeluarga.
“Saya mulai berlayar di usia 21 tahun. Saat masih perjaka. Naik kapal niaga di Jakarta tujuan Pontianak,” ucapnya sembari tertawa.
“Modalnya karena saya kan punya ijazah APL. Setelah itu dia dtawari naik kapal Taiwan. Emang saat itu lagi nganggur,” ucapnya. Untuk sampai ke Taiwan, dia berbekal buku pelaut. Bekalnya adalah Basic Safety Training semasa sekolah di SUPM.
“Saya tiba di Guangsing sebelum bertolak ke Pasifik. Ke Guangsing naik pesawat sebelum lanjut ke kapal. Di Guam menyasar ikan tuna menggunakan alat tangkap long line. Gajinya paling tinggi 400 Dollar atau sekitar 5 juta,” paparnya.
Rico masih ingat nama perusahaan atau agen pembawanya. “Kami itu berharap Pemerintah ikut membantu,” kata pria yang mengaku bahwa setamat di SUPM dia sudah bekerja di beberapa kapal ikan termasuk di Tual, sejak tahun 2011.
Muhammad Iqbal, Kasubdit Pengawakan Kapal Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap KKP merespon banyaknya kasus awak kapal ikan yang bersoal dengan perusahaan atau tempat dimana mereka bekerja karena beberapa faktor.
“Salah satunya terbatasnya informasi kepada mereka tentang hak-hak awak kapal ikan saat berada di atas kapal,” ucapnya.
“Ada tiga bagian utama dalam memahami aspek ketenagakerjaan sektor perikanan, yang pertama penyadartahuan tentang pekerjaan pada sektor perikanan, risiko pekerjaan dan perlunya sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Ketiga berkaitan dengan kebijakan dan regulasinya,” papar Iqbal.
Menurutnya KKP telah semakin intenstif dalam memberi ruang keterlibatan banyak pihak dalam mengadvokasi isu yang tidak ringan ini karena melibatkan banyak pelaku. “Bukan hanya pelaku usaha perikanan domestik tetapi juga mancanegara,” katanya.
Pengalaman Greenpeace
“Kalau kami juga sudah lama. Isu HAM Perikanan sudah disuarakan Greenpeace Asia Tenggara sejak lama,” kata Arifsyah M. Nasution, Indonesia Oceans Champaigmer saat ditemui penulis.
Berdasarkan obrolan dengan Arifsyah isu HAM Perikanan ini berkaitan dengan rekrutmen yang tidak transparan, tidak jelas dan mengarah pada pelanggaran hak azasi manusia.
Penulis membaca laporan Greenpeace berjudul Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas atau bisa dimaknai sebagai ‘Titian menuju Perbudakan Moderen di Laut Lepas’.
Menurut laporan ini kapal-kapal yang mempekerjakan ABK ini umumnya menggunakan alat tangkap merusak, ilegal, dan tidak melaporkan hasil tangkapan. Mereka merusak kondisi lautan yang memang sudah rentan.
Banyaknya awak kapal jadi korban di industri perikanan ini karena keterlibatan calo calo-calo tenaga kerja yang curang.
Ada realitas bahwa gaji mereka dikurangi, ada bukti yang menunjukkan bagaimana skedul pembayaran mereka yang bermasalah, mereka juga harus membayar uang jaminan dan biaya pemrosesan, jauh melebihi jumlah yang semestinya.
Mereka juga bekerja dengan jam kerja yang tidak beraturan serta melebihi kondisi normal, gaji sedikit dan kadang tanpa bayaran. Inilah yang terjadi. Ada perbudakan modern yang menyayat hati.
Apa yang dialami oleh Lukas hingga ketiga pelaut Slawi di atas serupa dengan informasi di laporan Greenpeace Asia Tenggara tersebut dan menggambarkan realitas kemanusiaan di industri perikanan di Indonesia secara umum termasuk Filipina di laut lepas.
Di laporan Greenpeace tersebut dituliskan bahwa Badan Perikanan Taiwan, per Juni 2019, ada sekitar 21.994 nelayan asal Indonesia serta 7.730 dari Filipina dan dilaporkan bekerja di kapal-kapal ikan di laut lepas Taiwan.
Setidaknya ada empat perihal temuan Greenpeace di laporan tersebut:
Pertama, ada praktik penipuan melibatkan 11 kapal penangkap ikan asing. Lalu yang kedua, ada pemotongan upah yang melibatkan 9 kapal penangkap ikan asing; ketiga, ada lembur berlebihan yang melibatkan 8 kapal penangkap ikan asing; dan keempat, pelecehan fisik dan seksual yang melibatkan 7 kapal penangkap ikan asing.
Ada lima situasi yang disebut oleh Greenpeace Asia Tenggara sebagai pemicu maraknya praktik ini. Pertama, karena tuntutan ekonomi, yang dicirikan oleh semakin banyaknya tenaga kerja tak terlatih dan membutuhkan lapangan kerja.
Kedua, karena adanya peran calo, atau broker tenaga kerja yang tak dibersihkan. Mereka menjadi pengiming-iming dan kadang menangguk untung di dalamnya.
Ketiga adalah karena semakin sulitnya memperoleh ikan di laut-laut pedalaman karena alat tangkap yang semakin masif. Mereka harus berpindah ke laut jauh dan dengan demikian, semakin banyak tenaga ABK yang mau tidak mau harus ikut ke sana.
Keempat karena tidak ketatnya aturan perikanan dan lemahnya pengendalian praktik ‘transshipment’ oleh Negara.
Jika transshipment tak diselesaikan maka praktik perbudakan ini semakin masif, kenapa? Karena tidak ada inspeksi atau pengecekan input-ouput usaha perikanan di pelabuhan resmi.
Kelima, kurangnya kepedulian Pemerintah untuk mengkoordinasikan kebutuhan ketenagakerjaan, fasilitasi dan supervisi para pelaku perikanan.
Tanpa campur tangan Pemerintah misalnya memastikan resmi tidaknya calo atau perusahaan penyalur tenaga kerja maka akan sulit memastikan apakah awak kapal sudah sesuai kualifikasinya atau telah dipenuhi hak-haknya.
Di laporan itu, Greenpeace Asia Tenggara menekankan perlunya negara-negara anggota ASEAN, khususnya pemerintah Filipina dan Indonesia, untuk mengambil tindakan kebijakan konkret mengatasi masalah perburuhan di ruang laut ini.
Apa yang dijalankan oleh Pemerintah RI saat ini dengan memberi ruang kepada organisasi masyarakat sipil untuk ikut menyuarakan perlindungan awak kapal perikanan patut diapresiasi, meski demikian tidak akan efektif jika hanya Pemerintah Pusat atau Kementerian teknis saja yang harus turun tangan.
Isu-isu ketenagakerjaan, kondisi ekonomi dan rendahnya kapasitas sumber daya manusia perikanan merupakan PR bersama, termasuk menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Pemda harus turun tangan, lebih dalam dan bekerja keras sebelum kasus ini mencoreng nama baik bersama.
Pemerintah Daerah terutama yang menjadi ‘pemasok’ ABK atau pelaut perlu segera menginisiasi forum atau unit khusus menangani isu HAM Perikanan ini terutama di Pantura dan Pansel Jawa. Apalagi transformasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan telah berjalan simultan dan membuka ruang adanya partisipasi para pihak dalam negeri.
Nelangsa anak negeri di urusan kelautan dan perikanan, terutama awak kapal ikan adalah nelangsa bangsa. Siapa lagi yang mau peduli? (*)