Bali, 18 Desember 2024 – Dilansir Kementerian Kelautan dan Perikanan pada September 2024, nilai ekspor produk perikanan Indonesia telah mencapai USD 4,23 miliar dengan total volume ekspor sebesar 1,02 juta ton. Nilai ekspor ini mengalami peningkatan sebesar 3,1% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023. Adapun komoditas ekspor yang menjadi unggulan didominasi oleh udang (28,1%), cumi-sotong-gurita (24,7%), dan tuna-cakalang-tongkol (7,9%). Indonesia sendiri banyak melakukan ekspor produk perikanan ke Amerika Serikat, Jepang, China, ASEAN, dan Uni Eropa. Padahal, Uni Eropa merupakan negara importir produk perikanan terbesar di dunia dengan ikan cod dan tuna-tongkol-cakalang sebagai komoditas terbesar yang diimpor. Adapun, Uni Eropa menjadi wilayah yang mengalami peningkatan ekspor tuna Indonesia, di mana pada periode tersebut nilainya mencapai US$ 57,20 juta dengan volume ekspor sebesar 13.498 ton.
Sayangnya, ada banyak faktor produk perikanan Indonesia yang masih belum bisa bersaing di Uni Eropa. Produk perikanan Indonesia saat ini masih banyak yang belum terstandarisasi Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) dimana untuk mendapatkan sertifikasi tersebut, perlu sumber daya manusia khususnya di unit pengolahan ikan (UPI) yang telah tersertifikasi. Untuk itu, dalam rangka memperkuat ekosistem industri perikanan tuna Indonesia, DFW Indonesia bekerjasama dengan Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan, melakukan Sosialisasi Urgensi Sertifikasi dan Kompetensi Pengolahan Tuna. Sosialisasi ini pertama kalinya dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Benoa, Bali, sebagai salah satu lokasi sentra tuna strategis di Indonesia.
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 16 – 17 Desember 2024 yang berkolaborasi dengan Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BP3) Banyuwangi dan Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI). Sosialisasi ini diikuti oleh perwakilan dari 15 perusahaan pengolahan tuna yang ada di Benoa, Bali.
“Tuna merupakan salah satu komoditas utama dalam perdagangan internasional, terutama di pasar Uni Eropa. Sayangnya, Indonesia saat ini hanya memiliki pangsa pasar sebesar 1%, jauh dibawah Vietnam dan Thailand. Inisiatif ini kami bentuk untuk mendorong pangsa pasar tuna Indonesia di dunia internasional sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan para pekerja UPI kedepannya.” Ujar Nabila Tauhida, Human Rights Officer DFW Indonesia.
BP3 Banyuwangi, yang diwakili oleh Iman Setya Dwi Ardani selaku Instruktur Bidang Pengolahan Hasil Perikanan dan Asesor Kompetensi di BP3 Banyuwangi turut memaparkan terkait bagaimana proses sertifikasi yang dijalankan di Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Banyuwangi.
“Kami turut mendukung inisiatif kerjasama ini karena kami turut melihat adanya urgensi dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam pengolahan ikan, khususnya di unit pengolahan ikan. Maka, kami mendorong perusahaan untuk bisa berkenan memberikan pelatihan bagi pekerjanya sehingga mereka bisa melakukan uji sertifikasi langsung dengan LSP Banyuwangi.” ujarnya.
Kegiatan ini dilanjutkan dengan kunjungan observasi dan wawancara langsung di pabrik pengolahan tuna. Kegiatan sosialisasi ini nantinya akan dilanjutkan dengan pelatihan dan sertifikasi uji kompetensi bagi pekerja pengolahan tuna yang rencananya akan dilaksanakan pada tahun 2025. Perwakilan perusahaan yang telah kami kunjungi dalam sosialisasi ini juga turut memberikan respon baik dan mendukung berjalannya kerjasama ini.
“Sulit mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi untuk posisi yang diinginkan, seperti teknik pemotongan ikan, packing produk dan keahlian khusus pada mesin pendingin. Untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut maka diperlukan pelatihan peningkatan kompetensi bagi pekerja sesuai dengan bidang keahlian masing-masing pekerja.” ujar perwakilan PT Segar Sari Laut.