Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat telah merilis laporan status Perdagangan Orang. Laporan yang terbit Juli 2022 itu menyebutkan penuruan peringkat Indonesia. Sebelumnya peringkat Indonesia berada di Tier-2 pada tahun 2021 menjadi Tier-2 Watch.
Ada tiga catatan penting yang menjadi temuan Negeri berjuluk Paman Sam itu dalam laporannya, yakni:
i) kegagalan pemerintah Indonesia dalam menangani kejahatan perdagangan orang,
ii) menurunnya upaya investigasi kejahatan perdagangan orang dalam lima tahun ini dan menurunnya tingkat hukuman kepada kejahatan perdagangan orang dalam empat tahun, dan
iii) lemahnya koordinasi antar satuan tugas anti perdagangan orang antara pusat dan daerah dalam implementasi rencana aksi nasional maupun daerah. Dalam laporan tersebut secara spesifik juga menguraikan temuan dan fakta yang terjadi pada sektor perikanan tangkap. Sektor yang gelap dan beresiko tinggi bagi pekerja terutama mereka yang bekerja di kapal ikan asing.
Laporan Kemenlu AS itu senada dengan kesaksian salah satu awal perikanan. Pada bulan Februari 2022, seorang awak kapal perikanan di kota Bitung, Sulawesi Utara bernama Radjab Macpal menyampaikan bahwa ada banyak anak muda asal kampung halamannya yang tergiur bekerja di kapal ikan asing.
“Mereka tertarik karena iming-imning gaji tinggi yaitu USD 300-450” kata Radjab menuturkan.
Sayangnya, keinginan untuk bekerja di kapal ikan asing tidak disertai dengan kesiapan dan pengetahuan yang cukup tentang risiko kerja serta persyaratan administrasi.
“Mereka berangkat tanpa pengetahuan yang cukup tentang keterampilan teknis, persyaratan, pengetahuan manning agent dan negara tujuan” ujarnya.
Akibatnya beberapa diantara mereka, pulang bekerja tanpa hasil karena ditipu oleh pemberi kerja. “Ironisnya, mereka enggan melaporkan hal tersebut karena malu dan juga tidak tahu mau melapor kemana” kata Radjab.
Pernyataan Radjab pun serupa dengan laporan dan pengaduan yang diterima oleh National Fishers Center. Manager National Fishers Center, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa dalam periode 2021-Juni 2022, pihaknya menerima 41 pengaduan awak kapal perikanan, dengan jumlah korban 157 orang. “Korban adalah mereka yang bekerja di kapal ikan domestik dan kapal ikan asing antara lain Dobo, Muara baru, Benoa, Afrika, China dan Pasifik” kata Imam.
National Fishers Center adalah platform bersama yang didirikan oleh Destructive Fishing Watch Indonesia dengan tujuan memberikan fasilitas edukasi dan kampanye, pengaduan kasus dan data management. “Platform ini memberikan layanan online dan akan kami kembangkan secara digital agar dapat menjangkau awak kapal perikanan secara luas” kata Imam. Bukan saja sebagai layanan pengaduan, National Fishers Center menyediakan informasi lain tentang aturan dan regulasi awak kapal, manning agent yang terdaftar di pemerintah, unit pengolahan ikan, dan forum diskusi antar ABK.
Baca juga : National Fishers Center Jadi Alternatif Pengaduan ABK
Dalam rangka memberikan perlindungan kepada pekerja migran termasuk pelaut perikanan, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Dalam pasal 40, 41 dan 42 UU No. 18/2017, secara berjenjang mengamanahkan peran, tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah yang meliputi provinsi, kabupaten/kota, dan desa/kelurahan. Namun demikian, pelaksanaan tugas dan tanggungjawab pemerintah daerah belum terlalu optimal. Salah satu masalah yang muncul adalah minimnya dukungan strategi, program dan penganggaran pada level kabupaten/kota untuk mengimplementasikan UU tersebut.
“Sebagai contoh, dalam pasal 41 disebutkan bahwa kabupaten/kota harus membuat basis data pekerja migran Indonesia” kata Imam.
Sejauh ini, tidak ada upaya dalam bentuk rencana aksi dan strategi dari mana memulai membangun pendataan pekerja migran pada tingkat kabupaten/kota. “Potensi masalah semakin runyam karena banyak kegiatan perekrutan pekerja migran termasuk pelaut perikanan dilakukan oleh manning agen ilegal” kata Imam.
Baca juga : Perlindungan Buruh Awak Kapal Perikanan Masih Lemah
Kategori ilegal adalah manning agent yang tidak memiliki izin perekrutan dan penempatan yang dikeluarkan oleh otoritas terkait ketenagakerjaan atau kepelautan di Indonesia. Menurut sumber dari salah satu pejabat sektor ketenagakerjaan di Indonesia, saat ini di pantai utara Jawa terdapat sekitar 250 manning agen ilegal. Jadi, benang kusut dari tata kelola pelaut perikanan di Indonesia bermula dari sistem dan mekanisme perekrutan.
Tidak mau membiarkan warganya menjadi korban kerja paksa dan perdagangan orang, Lurah Batu Putih Bawah, kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara, Baktarina Masala berinisiatif membangun sistim deteksi dini dan pencegahan berbasis masyarakat. “Pemerintah kelurahan bersama dengan masyarakat sepakat membentuk Lembaga Perlindungan Awak Kapal Perikanan dan Nelayan Kelurahan Batu Putih Bawah” kata Baktarina. Lembaga ini biasa disebut Sahabat Perlindungan Awak Kapal Perikanan dan Nelayan atau SPAN dibentuk berdasarkan SK Lurah Batu Putih Bawah No. 971/SK/BTB.P/IX/2022 tertanggal 21 September 2022.
“SPAN ini bekerja untuk memberikan edukasi dan layanan informasi kepada awak kapal perikanan dan nelayan agar mendapatkan perlindungan dan keselamatan pada saat bekerja di laut” kata Baktarina.
Baktarina menunjuk Radjab Macpal sebagai ketua lembaga tersebut. “Sebagai mantan ABK, Radjab mempunyai pengetahuan, wawasan dan pengalaman bekerja di laut sehingga dapat berbagai pengalaman dan informasi kepada warga lainnya bagaimana cara menjadi ABK yang baik” kata Baktarina.
Dalam ketentuan pasal 42, UU 18/2017 peran dan tanggungjawab pemerintah desa-kelurahan disebutkan antara lain : i) menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, ii) melakukan verifikasi data dan pencatatan Calon Pekerja Migran Indonesia, dan iii) memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan Calon Pekerja Migran Indonesia. “Dengan keterbatasan yang ada, kami tentunya sulit untuk melaksanakan peran tersebut secara optimal” kata Baktarina.
Peneliti DFW Indonesia, Cindy Mudeng mengatakan bahwa kota Bitung merupakan salah satu destinasi sekaligus kantong atau asal awak kapal perikanan. Banyak warga Bitung yang bekerja di kapal ikan bendera asing terutama Taiwan dan Korea Selatan. “Belum ada data tentang jumlah mereka sebab pemerintah kota Bitung belum pernah melakukan pendataan terhadap jumlah dan sebaran ABK migran asal kota Bitung” kata Cindy.
Cindy mendukung upaya Lurah Batu Putih Bawah yang membangun sistim deteksi dini pada tingkat kelurahan. “Ada baiknya pendataan pelaut perikanan dimulai pada tingkat kelurahan dan nanti akan dikontribusikan pada pemerintah kota bitung secara berjenjang” kata Cindy. Hal ini agar sejalan dengan perintah pasal 41, UU 18/2017 dimana kabupaten-kota berkewajiban membangun basis data pekerja migran.