Tidak salah jika Indonesia merupakan pusat biodiversity dunia. Hal ini salah satunya bisa dibuktikan dengan tingginya keanekaragaman jenis ikan hiu dan pari yang ditemukan di periaran Indonesia. Dari 500 jenis hiu dan pari di dunia, 221 jenis ditemukan di perairan Indonesia. Dari 221 jenis tersebut terdiri dari 117 jenis ikan hiu, 3 jenis ikan hiu hantu, dan 101 jenis ikan pari. Namun demikian, ancaman atas biodiversitas dan kelimpahan ini makin nyata karena tingginya eksploitasi dan penangkapan hiu dan pari. Salah satu perairan yang merupakan lokasi favorit penangkapan dan eksploitasi ikan hiu dan pari di Indonesia adalah laut Arafura.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan dalam kurun waktu 2018-2020 produksi sirip hiu kering yang tercatat oleh otoritas setempat di Aru adalah sebanyak 56 ton. “Setiap tahun rata-rata laut Aru menghasilkan 18,6 ton sirip hiu kering dengan berbagai ukuran kecil sampai besar dengan nilai Rp 11,3 miliar” kata Abdi. Volume dan nilai ini sirip hiu akan bertambah tinggi jika menambahkan transaksi perdagangan lainnya seperti daging, kulit,, tengkorak dan rahan hiu.
“Dalam 3 tahun terakhir, total volume produksi daging, kulit, tengkorak dan rahang hiu mencapai 805 ton” kata Abdi. Abdi menambahkan selain hiu, eksploitasi dan penangkapan ikan Pari Kikir atau Kekeh juga sangat tinggi. “Dalam kurun waktu 2018-2020 produksi ikan ini mencapai 7,5 ton” kata Abdi. Angka eksploitasi hiu dan pari akan lebih tinggi jika ditambahkan dengan kegiatan penangkapan hiu yang tidak dilaporkan.
Tingginya eksploitasi dan penangkapan ikan hiu di Kepualauan Aru salah satunya dikarenakan masih adanya izin yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi Maluku untuk kapal-kapal rawai pencari hiu ukuran dibawah 30GT. “Sejauh ini penangkapan hiu belum menerapkan sistim kuota sehingga laju eksploitasi hiu tidak dapat dikontrol” kata Abdi.
Tidak ada spesies atau jenis khusus hiu dan pari yang menjadi target tangkapan oleh para nelayan di Dobo. Mereka menangkap jenis apa saja. Sedangkan untuk alat tangkap yang digunakan adalah pancing rawai dasar dan juga jaring dasar tetap. “Menjadi kendala utama untuk tracing jenis hiu yang ditangkap oleh para nelayan karena kondisi ikan yang sudah tidak utuh pada saat didaratkan” kata Abdi
baca juga : Kordinasi status pengelolaan sampah di PPP Tegalsari
Selanjutnya Abdi mengatakan bahwa kapal ikan yang beroperasi dalam penangkapan hiu di Aru cukup beragam, mulai dari kapal kecil dengan ukuran 5 GT hingga kapal-kapal yang berukuran 20 GT. “Jumlah armada kapal pencari hiu cukup banyak di Dobo dengan alat tangkap pancing rawai dasar untuk berburu ikan hiu. Para pencari hiu ini umumnya para nelayan yang berasal dari Makassar” kata Abdi. Adapun wilayah fishing ground nelayan pencari hiu berada di sekitar Suaka Alam Perairan (SAP) Aru bagian Tenggara, sekitar Pulau Babi dan Perairan Aru bagian utara
Peneliti DFW Indonesia, Asrul Setyadi menyoroti komitmen pemerintah Indonesia dalam mengendalikan penangkapan hiu dan pari. Saat ini ada dua kebijakan dan regulasi tentang hal ini yaitu Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi dan Pengelolaan Hiu dan Pari 2016-2020 dan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Kuota Pengambilan Untuk Pemanfaatan Jenis Ikan Yang Dilindungi Terbatas Berdasarkan Ketentuan Nasional Dan Jenis Ikan Dalam Appendiks II Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora. “Dokumen RAN 2016-2020 tidak efektif karena tidak memuat secara lengkap peran dan tanggung jawab para pihak, kerangka waktu dan pendanaan sehingga sulit untuk mengevaluasi pelaksanaanya” kata Asrul. Setelah berakhir tahun 2020 lalu, belum ada dokumen RAN terbaru yang dirili oleh KKP.
Sementara terkait Kepmen KP No 21/2021, hal ini merupakan inisiatif dan terobosan KKP untuk mengendalikan penangkapan hiu dan pari. “Implementasi Permen KP ini akan menghadapi tantangan pada aspek pengawasan dan pencatatan karena selama ini petugas kesulitan melakukan identifikasi jenis hiu yang ditangkap dan sudah diolah” kata Asrul. Pihaknya juga menyoroti besaran dan penentuan kuota kepada provinsi yang kurang proporsional. “DKI Jakarta memiliki kuota terbanyak, padahal potensi dan penangkapan tidak diakukan di laut DKI yang sudah tertekan” kata Asrul. Ini bisa menjadi celah perdagangan oleh pelaku yang akan mentransportasikan hasil tangkapan hiu dan pari dari luar Jakarta untuk melaporkan dan terdata di Jakarta.
Baca juga : Japan likely imports fish from Chinese ships flagged for illegal acts
Dirinya mencurigai jika upaya pengendalian melalui Peraturan Menteri ini merupakan cara KKP untuk memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pemberian kuota tangkap. “PNBP kecil dan tidak akan seberap dibanding dampak eksploitasi yang terjadi akibat eksploitasi berlebih, apalagi dengan kapasitas pengawasan yang saat ini masih lemah” kata Asrul. Di Kepulauan Aru, patroli pengawasan tidak berlangusng rutin oleh pihak Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. “Anggaran pengawasan terbatas, operasional kapal patroli PSDKP hanya 42 hari dalam setahun” kata Asrul. Dibanding luas wilayah penangkapan WPP 718 dan keberadaan SAP Aru bagian Tenggara yang memerlukan pengawasan intensif, ini merupakan hal yang memprihatinkan.