Jakarta, 7 Oktober 2020 – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) secara tegas menolak RUU Cipta Kerja yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (05/10). Penolakan tersebut disampaikan karena RUU Cipta Kerja dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan substansinya dapat mengancam keberlanjutan sumber daya kelautan.
Sebagai negara demokrasi, partisipasi publik sangat penting untuk menjamin undang-undang disusun demi kepentingan rakyat, bukan kelompok tertentu. Hak masyarakat untuk dilibatkan dan mendapatkan informasi mengenai kebijakan publik dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945, serta Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. UU Nomor 15/2019. Akan tetapi, pembentukan undang-undang ini dilakukan secara tergesa-gesa dengan partisipasi publik yang minimal, baik di tahap penyusunan maupun pembahasan. Padahal, undang-undang ini mengatur banyak sekali aspek yang akan mempengaruhi kehidupan banyak orang.
Penyusunan undang-undang dengan mengabaikan prinsip-prinsip tersebut membuat RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) memuat ketentuan-ketentuan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif di berbagai sektor, salah satunya kelautan. Kerugian yang dapat muncul pada sektor kelautan diuraikan dalam beberapa alasan berikut: KORAL merumuskan tujuh poin penting yang yang menyebabkan RUU Cipta Kerja ini berdampak negatif pada sektor kelautan.
Pertama, Sentralisasi kewenangan ke Pemerintah Pusat dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap tingkat eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan serta melemahkan esensi otonomi daerah. Di sektor perikanan contohnya, kewenangan untuk menetapkan potensi perikanan yang sebelumnya berada pada Menteri berpindah ke Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden. Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan lembaga teknis yang mumpuni dan berwenang dalam hal pengelolaan perikanan. RUU Cipta Kerja jelas tidak memberikan kepastian siapa atau lembaga apa (dalam ranah Pemerintah Pusat) yang akan memegang kewenangan ini. Pemindahan kewenangan perizinan juga dapat mengurangi fungsi kontrol yang mencegah terjadinya eksploitasi berlebih. Sentralisasi kewenangan perizinan ke Pemerintah Pusat juga akan mempersulit aksesibilitas pelaku usaha di daerah yang sebelumnya dapat mengurus perizinan di daerah masing-masing. Selain itu, jika tidak didukung dengan good governance, kewenangan yang sangat besar di Pemerintah Pusat berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Kedua, Perizinan disederhanakan untuk kepentingan investor dan pelaku usaha besar. Simplifikasi perizinan yang diatur oleh RUU Cipta Kerja dapat mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem. Hingga saat ini, pemerintah telah menetapkan 15 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) demi mendukung investasi, dan bila dipadukan dengan RUU Cipta Kerja, kerusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, dan terumbu karang) dimana jutaan nelayan menggantungkan hidupnya menjadi ancaman nyata. Perubahan membuat perizinan berusaha hanya diwajibkan untuk usaha tertentu, yakni yang dianggap berdampak tinggi. Padahal, penentuan usaha apa saja yang dinilai berdampak tinggi tersebut itu sendiri masih dipertanyakan keakuratannya. Selanjutnya, perubahan yang tidak kalah merugikan adalah beralihnya izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan yang berpotensi mengurangi esensi pengawasan, pengendalian, dan pencegahan. Perubahan lainnya adalah izin lingkungan yang diubah menjadi persetujuan lingkungan. Diubahnya izin menjadi persetujuan tentunya akan mengurangi esensi pengawasan, pengendalian, dan pencegahan.
Ketiga, Terdapat indikasi bahwa operasi kapal asing untuk menangkap ikan di ZEE Indonesia akan dibuka pasca-RUU Cipta Kerja. RUU Cipta Kerja mempertahankan ketentuan mengenai kapal asing yang ada pada UU Perikanan, tetapi menghapuskan kewajiban penggunaan ABK Indonesia sebanyak 70% per kapal. Padahal, sumber daya perikanan di Indonesia seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai amanat dari Pasal 33 (3) UUD 1945.
Keempat, Perubahan sistem perizinan menjadi risk-based approach (pendekatan berbasis risiko) tidak didukung dengan penentuan kelembagaan dan metodologi yang jelas dan kredibel. Saat ini, di Indonesia belum ada lembaga yang dapat dianggap siap dan berpengalaman untuk melakukan penentuan risiko secara holistik. Terlebih lagi, database di Indonesia belum dapat mendukung efektivitas risk-based approach. Sehingga, penentuan risiko dikhawatirkan dapat bersifat subjektif. Dampaknya, kegiatan usaha yang tidak dianggap berisiko tinggi tidak diwajibkan untuk memiliki izin. Jika penentuan risiko tidak akurat, tentunya dapat berbahaya bagi keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia.
Kelima, Penghapusan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN) yang mereduksi peran sains dalam pertimbangan perumusan kebijakan. Komnas KAJISKAN merupakan lembaga independen yang berwenang mengkaji potensi perikanan di Indonesia secara ilmiah. Tanpa lembaga tersebut, penentuan potensi dapat diintervensi oleh kepentingan politik dan hasil kajian tidak kredibel. Akibatnya, pengelolaan dan eksploitasi perikanan berlebih akan semakin tidak terkendali. Padahal saat ini pemerintah melalui Kepmen-KP 50/2017 menyatakan bahwa sebagian perikanan utama Indonesia telah mengalami overfishing.
Keenam, Perubahan definisi nelayan kecil yang tidak lagi membatasi ukuran kapal dapat mengurangi esensi affirmative action terhadap nelayan kecil. Dengan definisi yang tidak jelas, nelayan-nelayan yang sekarang tidak tergolong sebagai nelayan kecil nantinya bisa mencuri keuntungan yang awalnya menjadi hak nelayan kecil, seperti subsidi nelayan kecil, dan area tangkap dekat pantai). Lalu, pada akhirnya penghapusan ukuran kapal sebagai indikator definisi nelayan kecil menciptakan persaingan yang tidak adil.
Ketujuh, RUU Cipta Kerja meminimalisir partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan pemanfaatan pesisir. Pelibatan masyarakat pada tahap penyusunan AMDAL dibatasi, dan Komisi Penilai AMDAL yang bersifat multi-stakeholder dihapuskan. Implikasinya, pemanfaatan wilayah pesisir berpotensi mengesampingkan pertimbangan nasib masyarakat yang bergantung pada kelestarian ekosistem pesisir.
Berlakunya RUU Cipta Kerja membuka peluang eksploitasi berlebih sumber daya kelautan, yang akhirnya akan membuat nelayan kecil dan tradisional merugi dan terpinggirkan serta mempercepat kerusakan ekosistem pesisir dan kekayaan laut.
***
Tentang KORAL:
[1] Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) terdiri dari: IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative), Pandu Laut Nusantara, EcoNusa, KIARA, WALHI, Greenpeace Indonesia, ICEL (Indonesian Center of for Environmental Law), Destructive Fishing Watch (DFW), Yayasan Terangi.
Kontak Media:
- KIARA: Susan Herawati, Sekretaris Jenderal, 0821-1172-7050
- Greenpeace Indonesia: Afdillah, Juru Kampanye Laut, 0811-470-4730
- IOJI: Stephanie Juwana, Direktur Kerjasama Internasional dan Reformasi Kebijakan, 085882339689
- WALHI, EDO RAKHMAN, Koordinator Kampanye, 0813-5620-8763
- ICEL: Isna Fatimah, Direktur Program, 0813-1923-0279
- Terangi: Safran Yusri, Ketua, 0856-1057-104
- DFW: Abdi Suhufan, 082124668684
- Pandu Laut Nusantara: Dr. Suhana, 081310858708
- EcoNusa: Wiro Wirandi, Ocean Program Manager, 0812-3377-9998